Langsung ke konten utama

Postingan

Hatiku Terkunci di Dark Room "Eps End"

   Hari ini aku resmi menjadi siswi, aku memandangi wajahku berulang kali di cermin sekolah. wajahku tetap sama, wajah kekanakan yang sama. Tiba-tiba ponselku berdering. Pemberitahuan grup. Aku mengernyit, sejak kapan aku masuk ke grup Dark Club, siapa yang memasukkanku? “ Diberitahukan untuk semua anggota baru, harap berkumpul sekarang.” Aku bergumam membacanya.  “ Eh? Sekarang?” Aku keluar cepat, aku menyuruh Evala yang sejak tadi berdiri di depan pintu untuk ke kelas duluan. Dia untungnya pengertian. Aku pun menuju ke ruangan itu cepat. Tanpa mengetuk pintu aku masuk ke ruangan itu. “ Eh?” Hanya ada, 1, 2, 3  totalnya 10 orang. Semuanya menoleh padaku. “ Ku Pikir aku terlambat.” Tiba-tiba suara seseorang di belakangku. Ketua Osis, dan pria satunya lagi berjalan melewati pintu. “ Hay anak aneh. Kau masuk tanpa mengetuk. Kau memang aneh.” Wanita berambut bob, berjalan ke arahku.” “ Beruntungnya tahun ini kita memperoleh 3 anggota. Kalian para angg

Hatiku terkunci di Dark Room "eps 01"

Poem & Short Story Aku Abysa Anjani, pagi ini sneaker putihku melangkah dengan penuh semangat ke arah gedung itu. Gedung megah bertuliskan SMA Negeri 8 Kota Baru yang sudah ku impikan sejak 3 tahun yang lalu. Ini menit pertamaku memasuki gerbang besar yang menjadi pintuku memasuki dunia baru, dunia siswi SMA . Aku mengikat kuat kucir kudaku yang semakin merosot ke leher. Ku mantapkan kakiku untuk memasuki gedung itu. Masa orientasi memang sempat di kenal menakutkan. Namun aku yakin, tidak akan seburuk itu. Aku berkeliling mencari letak kelasku. Sebelumnya, melalui pemberitahuan online sudah terpampang jurusan dan kelasku. Tapi tidak terpampang denah sekolah itu, sehingga aku cukup kebingungan. “ Umm, permisi kak, mau tanya kalau kelas sepuluh IPS 1 dimana ya?” “ Oh.. itu ada di lantai 3, paling pojok.” “ Oh baik ka, terima kasih.” “ Oke.” Aku meneruskan langkahku, mengikuti instruksinya, lantai 3 gedung paling pojok. Aku berhasil melewati l

Kemilau Cinta Rembulan

Hawa dingin pagi ini sungguh menusuk kulitku, membuat tubuhku menggigil dan menggetarkan seluruh rahangku. Jaket tebal yang  ku kenakan rasanya kurang melindungiku dari serangan hawa dingin ini. Pergi ke sekolah sepagi ini memang sudah menjadi rutinitasku, ku lirik sejenak arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul 06.00, orang-orang mungkin berpikir jika aku ini buta waktu, atau aku terlalu rajin. Jika bukan tuntutan jarak yang cukup jauh ditambah tak adanya kendaraan pribadi yang ku miliki, jadi, harus ku bela-belakan berjalan kaki sampai ke halte di perempatan jalan. Drap...drap.. terdengar suara langkah kaki seseorang yang sedang mengejarku.      “ Wulan tunggu aku!” sontak aku menoleh dan berhenti begitu mendengar suara nyaring yang tak asing lagi di telingaku. “ Jessy. Jangan berlari, nanti kau bisa jatuh!” Omelku, Jassy sepertinya tak mendengar suaraku yang pelan. “ Hufh... lelah sekali rasanya. Heyy kenapa kau meninggalkanku!” Bentak Jess

Generasi Keruh, Ki Hajar menangis untukmu.

Lihat! Lihatlah! Gedung-gedung tinggi bernisankan sekolah negeri kini semakin megah menjulang langit NKRI Lihat! Lihatlah! Lihat cacing-cacing bangsa yang berdiam di dalamnya Gedung itu hanyalah tameng dari kesuraman mereka Ini bukan salah mereka Itu bukan salah gedungnya Mereka bukan salah tuding-tudingnya. Ini, itu, mereka. Salah temperamen-nya. Lihat! Lihatlah! Kritikan hanya di lihat sebelah mata. Sejauh hamparan sawah yang luas Generasi bangsa mencucurkan darah tanpa dosa Cacing-cacing itu yang harusnya memakan tanah pendidikan Mereka menggeliat seperti cacing kepanasan. Lihat! Lihatlah! Gedung itu seolah hanya pelarian. Kini lentera bangsa semakin sayup-sayup ingin padam Secara tersirat mereka hanya pandai membual! Tong kosong nyaring bunyinya. Mereka termakan politik globlalisasi yang tak berguna. Lihat! Lihatlah! Mau jadi apa cacing-cacing itu? Mau jadi apa perjuangan Kartini? Mau seperti apa saat Ki Hajar meng

Kelambu Dunia

Pijakan ini bukanlah palang besi yang kau injak-injak dengan penuh dosa Udara ini bukanlah racun mematikan jangan kau usik kemurniannya Lautan ini bukanlah kobaran api yang membara Lalu kenapa kau musnahkan Hingga sirna keindahanku Ombak biruku, udara sehatku, tanah hijauku Jingga, biru memancar, hamparan hijau Kau renggut semua dariku Hanya tinggal kikisan dan harapan Aku harus bagaimana? Aku terjerembab di bawah sinar rembulan Yang terasa panas menyengat bak matahari sejengkalan Tetesan darah mengalir dari mataku Kau rusak istana duniaku Surga kala kita bermain Surga kala kita berlabuh Telah kau renggut secara perlahan Haruskah ku musnahkan jari-jarimu Agar kau lengah dalam mengambil harta pertiwiku Jangan anggap semua harta dunia milikmu Jangan kira hanya kau yang diberi titipan dari sang agung Aku dan segala hakku menjaga segumpal tanah pertiwiku Jangan kau renggut! Jangan kau rusak dan kau hancurkan Akulah kelambu dunia Dimana tak seorangpu

Puisi "Jam"

                                                                                JAM Aku terdiam merenung disini Sejak zaman maya hingga reformasi dan kini aku masih terdiam disini Dan waktu membawaku ke era ini Era yang penuh dengan tetesan darah Darah-darah segar yang terbuang dengan sia-sia Bahkan setetes asa tak cukup untuk Menghentikan pertumpahannya Harus kusaksikan dengan mata bulat telanjangku Apa yang bisa ku ekspresikan Akankah aku menghentikan dengan jeritan tangisku tertahan, ku hanya mampu berekpestasi Aku ingin kembali ke masa lampauku Tok..tik..tok..tik..tok Aku terus berputar mengikuti alur kehidupan Bumi ini telah bertongkat Aku kasihan melihat bumiku. semakin hari semakin aneh penghuninya Aku kasihan melihat bumiku Setiap saat kekayaannya telah dirampas paksa Aku kasihan melihat tanah nenek moyangku Kaki-kaki tanpa dosa telah menginjak dan mengotorinya. Tik..tok..tok..tik..tok Dimana penghuni rumah dunia ini

Memorable Hurts

Aku tak berharap banyak untuk dapat memiliki Dengan melihat dan merasakan Tanpa perlu menoleh Aku sudah mengerti Aku cukup puas dengan diriku sendiri Pencapaianku yang melawan waktu Kesabaran demi menanti Aku juga tidak berharap untuk kehadiran dari perasaan ini Aku ingin hidup normal Layaknya sang merpati                Aku ingin melepas penatku. Aku ingin bebas dari khayalan dan nostalgiaku tentangmu Aku lelah dan mulai penat. Aku mulai melakukan hal gila dan melayang-layang jauh. Kebenaran memberontak dari ubun-ubun kepalaku Tapi mau bagaimana mulutku saja terkunci. Yang terbebas hanya degup jantung Yang berdetak tanpa arti serasa berlari. Kapan aku akan berhenti menjadi seorang pengecut Yang hanya berani bersembunyi dibalik bayangan Aku muak dengan hidupku Kenapa tuhan memberiku perasaan Perasaan yang tak mampu ku kendalikan Aku muak dengan wajah itu Yang selalu saja menyelinap diotakku Jauh lebih buruk dari rumus matematika Yang data