Kupu-Kupu
Patah
Mereka
bilang, manusia akan melewati tiga tahapan dalam menemukan cinta yang
sesungguhnya. Tahapan pertama cinta monyet, lalu patah hati, dan yang terakhir
cinta sejati. Tapi mungkin, berbeda dengan kasus yang kualami.
Aku
sudah mengalami patah hatiku yang pertama saat berusia enam tahun, ya, benar, sejak saat itu. Cinta pertama seorang anak perempuan adalah
ayahnya. Benar? Lucu memang karena awal duniaku terbentuk hanya berputar
padanya. Aku membutuhkan kasih sayangnya, cinta dan perhatiannya, namun semua
itu menjadi retak semenjak kata ‘perceraian’ menjadi garis pembatas antara anak
perempuan dengan Ayahnya.
Aku
tumbuh remaja, dengan mengubur dalam-dalam cinta pertamaku, merelakan masa
kecilku yang terbilang cukup indah, hingga aku pun menjadi terbiasa menekan
perasaanku. Jika aku mengatakan merindukannya, itu hanya akan menyakiti pihak
yang lain, yaitu Ibuku yang mengalami trauma akibat KDRT yang dia terima.
“Jangan
pernah menyebut namanya lagi! Mama benci dia” kemarahan yang dia tunjukkan
padaku sudah cukup membungkam bibir cerewetku. Aku takut, aku takut aku juga
akan ditinggalkan olehnya. Rasa takut tinggalkan yang kualami jauh lebih besar
dibandingkan rasa rindu seorang anak.
Sampai
akhirnya aku menjadi sedikit nalar, aku tahu penyebab kenapa perceraian itu
ada, perselingkuhan dan kekerasan. Saat itu cinta pertamaku, berubah menjadi
kebencian pertama yang kurasakan.
Aku
sudah melewati fase patah hati pertamaku, akan tetapi hatiku belum sepenuhnya
mati. Normal bukan? Sama seperti kebanyakan remaja, aku juga merasakan cinta
monyetku di bangku SMP. Saat itu, untuk pertama kalinya, kupu-kupu terbang di
dalam perutku, terasa menggelitik.
Kita
sebut saja dia, Alfa. Anak laki-laki pertama yang kulihat begitu menarik,
dengan sikapnya yang tenang dan misterius. Sangat sulit untuk dekat dengannya,
bahkan ketika anak lain mencoba untuk menjadi akrab denganku, dia hanya duduk
diam di bangkunya membaca sebuah buku, atau sibuk dengan dunianya. Sejak saat
itu aku menjadi penasaran, apa yang sedang dia pikirkan?
Untuk
pertama kalinya dalam hidupku, aku mencurahkan isi hatiku di dalam sebuah buku
diari. Dia adalah tokoh pertama yang kutulis di dalamnya. Aku penasaran berapa
lama namanya akan bertahan di dalam buku diari-ku? Siapa yang menyangka, satu
tahun berlalu, nama itu masih tetap ada di sana. Hingga hari kelulusan SMP-ku,
aku masih diam-diam menyukainya.
Aku
sendiri tidak tahu, aku mempelajari kesetiaan dari mana, bukankah mereka bilang
buah jatuh tidak jauh dari pohonnya? mengingat cinta pertamaku, yakni Ayahku
yang suka berselingkuh, seharusnya aku juga memiliki sifat yang mudah bosan
sepertinya?
Tapi
tidak, sekali aku memantapkan hatiku pada sesuatu, aku hanya akan terus melihat
dan mempertahankan perasaan itu. Seperti takdir, ketika dipertemukan lagi di
sekolah yang sama. Siapa yang menyangka, aku akan melihatnya di SMA favorit
yang kutuju. Bahkan kelas kita sangat berdekatan.
Di
bangku SMA, aku mencoba menjadi lebih berani. Aku mulai berani menceritakan
kepada teman terdekatku bahwa aku menyukai seorang bernama Alfa. Tentu saja,
aku tidak bisa membatasi jiwa penasaran mereka, mereka mulai mencari tahu
seperti apa Alfa itu.
Cinta
di monyetku di bangku SMP, dan cinta putih abu-abu yang kualami dengan orang
yang sama. Lucunya, hanya aku sepihak yang mengalami itu. Saat seseorang sedang
jatuh cinta rasa canggung yang dialami saat berpapasan dengannya akan sangat
terasa. Aku yakin, dia mengetahui soal itu.
Aku
bahkan pernah mendengar sebuah gosip kalau teman-temannya sudah tahu tentang
aku yang menyukainya. Namun dia tidak bergeming. Dia seolah tidak tertarik
padaku, tidak, dia memang tidak tertarik padaku.
Namun
aku yang sangat keras kepala ini, masih sangat yakin kalau dia pasti akan
membalas rasa sukaku, aku begitu percaya diri, aku bisa mengatakan dengan
lantang aku pintar, aku cantik, dan aku layak untuk mendapatkan rasa sukanya.
Tapi saat itu aku masih belum belajar satu hal, bahwa perasaan seseorang tidak
bisa diukur dari pikiranku sendiri. Aku tidak bisa mengatur pikiran dan
perasaannya. Dia memiliki hak untuk tidak membalas apa yang kurasakan.
Hingga
akhirnya, aku memberanikan diriku untuk merasakan patah hatiku yang kedua
kalinya, aku menyatakan perasaanku padanya. Tidak ada respons. Tidak ada kata
maaf atau pun terima kasih. Seolah tidak pernah ada yang terjadi. Aku
benar-benar tertampar oleh fakta, seberapa lama pun aku menyukainya, itu
hanyalah perasaanku, bukan perasaan miliknya.
“Tidak
apa-apa, ini bukan pertama kalinya.” Aku mencoba meyakinkan diriku, semua akan
berlalu, rasa sakitnya hanya akan bertahan sementara.
Aku
memutuskan untuk mengakhiri itu semua. Kini, namanya tidak ada lagi di dalam
buku diari. Kupu-kupu yang semula terbang, satu persatu patah, perasaan itu
menguar meninggalkan sebuah pengalaman tentang mencintai dan melepaskan.
Aku
sudah melewatinya, dua kali patah hati, mungkinkah kelak aku akan melewati
tahapan terakhirku? Menemukan cinta sejati? Aku berharap mereka benar, aku
tidak ingin mengalami patah hati untuk ketiga kalinya.
***
BIONARASI
Ayuni
Kurnia Wulandari, dia lahir di Purbalingga, 14 Juni 2001. Salah satu pencapaian
terbesar dalam hidupnya adalah menerbitkan sebuah buku berjudul Story of
Cecilia tahun 2018 dan lulus predikat cumlaude jurusan Sastra UNY tahun 2023.
Dia bangga dengan kemampuannya dalam bidang kepenulisan, harapannya semoga
kelak banyak yang membaca kisahnya.
QUOTES
“Kupu-kupu
perlu proses untuk mendapatkan sayapnya yang cantik, sama seperti halnya kita,
patah dan terluka adalah bagian dari proses itu. Jangan takut, kita tidak akan terluka
selamanya. Meski tanpa sayap, kita masih bisa berjalan maju, pasti ada
kebahagiaan yang sedang menunggu di sana.”
Komentar