Source pic by : pinterest |
Dulu aku sempat berpikir jika manusia memang terlahir dengan kesempurnaan mereka masing-masing. Namun pada akhirnya aku menyadari, jika tidak ada satu orang pun yang memiliki kesempurnaan sedetil-detilnya. Jika memikirkan kita terlahir sempurna itu termasuk pelanggaran ketaqwaan kepada sang pencipta. Maka berlagak seolah kita sempurna adalah pelanggaran terbesarnya. Maka dari itulah, kehidupan ku yang porak poranda. Jiwaku yang terkekang, dan hatiku yang lama mati rasa, adalah bentuk dari ketidak sempurnaan yang di berikan oleh-Nya.
Rasanya berat berbagi serpihan kisah ini, dan menuangkan kisahnya dalam bentuk tulisan. Namun, ku kuatkan tekadku untuk menceritakannya. Karena bagiku, ini bukanlah kisah dramastis ala bollywood maupun drama korea yang penuh dengan fantasi. Kisah ini, ku tuangkan penuh ketulusan, dan rasa syukur karena ku harap dapat menginspirasi semua orang.
Aku bukanlah gadis periang yang acuh terhadap semua cobaan, aku kerap kali mengeluh, meski tidak ku lontarkan sepenuhnya. Namun, manusia tetap saja tak luput dai perasaan iri dalam hatinya. Saat anak anak lain dapat tersenyum membanggakan dan menceritakan keluarga mereka, menggenggam tangan Papa mereka saat pengambilan raport, ataupun saat mereka pulang telat ada sosok gagah yang Mencarinya. Itu semua, sekalipun dalam hidupku, aku tidak pernah merasakan kehangatan sosok gagah itu.
Begitulah, saat ku ingat kisah 12 tahun silam, saat itu usiaku 6 tahun. Untuk kesekian kali, ku lihat air mata mengalir dari pipinya “ Mama, apa yang terjadi? Mama penuh dengan luka, Mama kembali ke kampung halaman dengan air mata.” Aku, semuanya tampak samar saat ku ingat itu. yang aku tahu, perpisahan adalah penyebab air mata itu.
Saat itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengan “ Papa” Nama itu sempat terdengar asing di telingaku. Kenapa Papa tega meninggalkan kami, melukai Mama, menelantarkan kami. Aku, tidak mengutarakannya, Karena aku tahu itu urusan mereka para orang dewasa.
Meski begitu, tetap saja, aku sedikit terluka melepas salah satu genggaman dari Papa dan Mama. Mama yang memberiku Asi, dan Papa yang mengadzaniku. Keduanya, ibarat tebing yang harus ku pijakki, dan aku berada di tengah-tengah tebing itu. aku, melepas salah satunya, namun tidak boleh membenci yang lain.
Mama, sejak saat itu, dia menjadi sosok tegar untukku dan adik. Dia, menjadi semakin keras, menjadikanku sasaran empuk jika ada kecerobohan yang terjadi.
Aku sempat berpikir “ Mama, apa kau membenciku juga? Apa yang ku lakukan hingga kau begitu sering memarahiku. Kenakalan ala anak kecil yang berujung pada kemarahan.” Mama, aku sempat marah, ku pikir aku bukan puterinya.
Namun, kekesalan itu hanya bertahan sementara, setiap klu lihat wajah lelah yang terukir dari rautnya, aku paham, Mama melakukan semuanya. Dia terlahir menjadi sosok ganda, yang begitu sulit ku sentuh hatinya, karena hatinya begitu rapuh, sangat rapuh.
“ Mama, Papa, andai aku tahu semua ingatan akan hancur Berkeping keping. Aku ingin memeluk keduanya lebih erat di masa lalu. Aku, ingin menatakan “ Aku sayang keduanya, jadi jangan suruh aku membenci satu di antara kalian.”
Dan aku beranjak dewasa, aku mulai mengerti apa itu rasa suka, dan itu muncul di paruh pertamaku masuk sekolah menengah pertama. Aku, tahu, Mama mendidikku untuk jauh dari sosok yang namanya ‘laki-laki’ itu sebabnya, aku hanya bisa menyukainya dalam diam, meganguminya menjadi sosok lain yang Tuhan ciptakan, karena Tuhan tidak hanya menciptakan wanita di dunia ini. Selama itu, hingga aku memasukki jenjang SMA, aku masih menyukainya.
Selama itu, aku hanya menganggap rasa suka itu menjadi inspirasi di dunia ini. Terkadang aku bertanya-tanya, apa manfaat dari menyukai seseorang selama itu? dan selama itu pula, ku tuangkan semuanya dalam tulisan, dan pemberontakkan yang ku lakukan hanyalah imajinasi. Aku takut, aku tidak bisa lebih baik dari orang tuaku. Karena ibarat jalan, aku ingin melangkah ke lain arah, meninggalkan jejak mereka yang hanya dipenuhi dendam hingga sekarang.
Mama, dia tidak pernah tahu jika Puterinya telah beranjak dewasa, di matanya, aku hanyalah anak kecil yang cengeng, sangat rapuh dan buta akan dunia luar. Setiap kesalahan kecil saja, menjadi perhitungannya untuk mendiam-kanku lalu mencecarku sepanjang hari, Ya, begitulah Mama yang ku kenal. Tapi, aku masih mengidolakannya, karena di dunia ini tidak akan pernah ada yang setegar dia. Namun, aku tidak ingin seperti Mama, aku, ingin memiliki keluarga yang menyanyangiku, yang mau menemaniku hingga tubuhku kering dan membusuk, yang mau mendo’akan jika aku tiada, dan yang mau tertawa jika aku bahagia.
Karena setiap manusia di berikan dua peluang berkeluarga, yang pertama saat dia masih kecil. Dan yang kedua saat dia dewasa. Di masa kecil aku tidak di berikan peluang itu, maka aku akan bertaruh pada peluang yang kedua, kelak.
Sekarang, aku akan menggapai semua yang ku impikan itu satu persatu, harapan Mama, hanya satu, kehidupanku yang lebih baik. Meski terkadang aku berpikir Mama membenciku, rupanya, dia satu-satunya sosok yang memimpikkan kesuksesanku. Dan aku akan berjuang untuk membahagiakan dia di masa depan, Mama. Dan teruntuk Papa, meski tanpa bimbinganmu, akan ku buktikan, aku bisa, dan aku mampu bangkit dengan mimpi di tanganku. Meski begitu, ku harap, di masa depan, hati yang sempat rapuh dan terluka, akan kembali utuh, dan tersenyum memaafkan dengan tulus satu sama lain.
Mama, Papa, dan untukmu Sang Motivator, terima kasih, karena tanpa kalian, aku tidak akan bisa menorehkan kisah apa pun, karena kalian-lah sumber dari inspirasiku selama ini.
Suatu hari saat aku berada dalam puncak kedewasaanku, akan ku ceritakan ulang kisah ini dengan sedetil-detilnya, tanpa karangan fiksi dan tentu saja dengan akhir yang jelas, ku harap itu terjadi.
Komentar