Semalaman aku berpikir, bahkan di kelas pun aku masih
berpikir. Ke mana dia pergi? kenapa tidak mengirim pesan kalau dia mengambil
cuti sehari. Kalau begitu aku kan tidak perlu menunggunya di depan pintu,
untung saja dosen pengganti datangnya telat, kalau tidak, bisa kena cap ‘asdos
yang tidak disiplin’
“(Name)! Katanya kau sekarang dekat dengan Profesor Oh
ya, dia itu bagaimana sih orangnya? Benar dingin kayak tampilannya ya?”
“Ya
begitulah. Terkadang tampilan tidak menentukan kalau kau mengenalnya lebih
dekat.”
“Jadi begitu ya, ahhh irinya.”
“Jangan iri terus. Dulu kusuruh kau tukar posisi tak mau, alasannya takut
kelelahan. Bagaimana sih kau ini!”
“Hehe, iya deh iya. Eh dosen penggantinya datang tuh.” semuanya langsung fokus
pada kelas hari ini.
Skip>>>
Huff,
aku merasa lelah sekali, ingin rasanya cepat sampai apartemen lalu
berhibernasi selama sehari. Aku tidak mau apa pun selain tidur. Pokoknya harus
cepat masuk kamar. Aku tak sabar lagi menunggu lift yang antre, jadi kuputuskan lewat tangga saja. mataku sudah tidak bisa berkompromi lagi.
Tunggu
dulu, Profesor Sehun sudah kembali? Buktinya pintunya sedikit terbuka. Apa aku
masuk saja ya? Eits tunggu, itu tidak sopan namanya. Kalau begitu kuketuk
dulu. Tak ada sahutan dari dalam, jadi aku masuk saja, toh sudah ketuk pintu.
Ini
kali ketigaku masuk ke apartemennya, kami biasa memanggang makan malam di
balkonnya, rasanya menyenangkan melihat kamarnya yang tertata begitu rapi. Aku
terentak, ada sepasang sepatu wanita. Siapa? Kenapa aku menjadi netting
sendiri. aku pun masuk lebih dalam. Dan saat itu juga, aku mematung.
Apa
aku salah lihat? Dia memiliki wanita di kamarnya, dan sekarang, mereka sedang
berpelukan. Apa wanita itu yang membuatnya sibuk hingga mengabaikan waktu
kerjanya sendiri? apa dia yang dia sebut sebagai teman lama? Atau kekasihnya?
Aku
mencoba menyadari posisiku, memang siapa aku ini? Aku juga tidak berhak masuk
ke sini, aku hanyalah seorang asisten. Dia hanya cinta pertama, bukan berarti
da itu milikku karena perasaan itu hanyalah sepihak dan aku tak berhak
mengontrol apa yang dia lakukan. Tidak, Aku tidak ingin mencampuri lebih dalam
lagi. Aku memutuskan keluar dengan tenang. Jangan sampai langkah gusarku
mengganggu mereka, aku tidak ingin terlibat dengan mereka. karena menyakitkan,
rasanya menyakitkan, sungguh, aku tidak mengada-ada. Bolehkah aku menangis? apa
ini yang di namakan cengeng tanpa sebab?
***
“Sudah kubilang aku mau jalan kaki saja!” Entah kenapa tiba-tiba saja aku menegang dan wanita itu, duduk dengan tenangnya di samping Sehun. Aku sengaja berangkat
pagi untuk menghindarinya, tapi dia justru menyusulku. Sebenarnya apa sih yang
dia mau, membuatku meradang terus?
“Sehun, kurasa tidak baik memaksanya, maaf ya (Name), kalau begitu kami duluan
ya.” mobil pun melaju.
“Ya
sudah! Kalau mau duluan langsung saja! dasar!” Aku menendang kerikil di
hadapanku karena gusar. Ya Tuhan, ada apa dengan diriku. Apa inikah kau sebut
dengan cemburu? Tapi ingatlah posisiku. Kau harusnya bersyukur sudah di beri
kesempatan untuk dekat dengannya, bukannya meminta lebih.
“Tapi tidak masalah meminta lebih. Selama kau merasa lebih pantas darinya,
perjuangkan.”
“
Ehh???” Aku langsung menoleh.
“Kakak senior? Kau di sini?”
Dia
adalah Jang Na Ra, kakak senior terbaik dalam hidupku. Dia mantan pelatih
renangku, dan selama beberapa tahun aku memang tidak mendengar kabarnya. Tapi
tiba-tiba dia muncul di belakangku. “Jadi dia ya, pria yang pernah kau
ceritakan padaku saat SMP. Sungguh takdir yang bagus.”
“Kenapa bisa di bilang bagus? Dia bahkan tak mengingatku.”
“Dia
tak perlu mengingat masa lalu. Kau tidak harus menuntutnya, tapi buktikan saja
padanya kalau kau itu pantas.”
“Siapa? Aku? Ku rasa levelnya terlalu tinggi.”
“Hay! Sejak kapan(Name) berubah menjadi gadis yang pesimis. Dimana sisi
positifmu. Menyerah juga ada masanya, jangan pernah mencintai kalau tidak mau
memulainya. Kau saja belum memulai kok sudah pesimis duluan. Come on nak,”
Dia
benar, untuk apa aku berkoar-koar kalau dia itu cinta pertamaku, sedangkan aku
saja belum pernah berusaha untuk membuktikan padanya bahwa aku pantas mendapat
jasa balik dari perasaanku. Jika dia yang menarikku dalam kehidupannya, tentu
dia juga harus bertanggung jawab telah mengembalikan perasaan cinta yang kukubur lama. Dia harus tahu kalau perasaan itu muncul kembali bahkan jauh lebih
dahsyat dari sebelumnya.
“Tapi ingat satu hal, jika kau sudah memastikan bahwa sudah tak ada kesempatan,
barulah kau boleh menyerah. Selagi peluangmu masih ada, terjang saja.”
“Siap kak! Terima kasih, kalau begitu akan kulakukan mulai sekarang.” energiku
kembali full. Aku memeluk Kak Na Ra, aku
belum sempat menanyakan kabarnya, itu bisa lain waktu, yang terpenting adalah
aku memiliki keberanian sekarang. aku akan menemaninya seperti biasa,
membuktikan bahwa aku bukan hanya seorang asisten, dia juga harus melihatku
sebagai seorang wanita.
***
“Kak, ini tugas makalah yang sudah saya pilah,
semuanya sudah. Anda bisa langsung memindai ulang.”
“Bagus, terima kasih.”
“Hmm
Kak, boleh aku tanya sesuatu.”
“Apa?”
Aku
memberanikan diri untuk menanyakan tentang wanita itu padanya.
“Kak, apa wanita itu teman lamamu?”
“Oh.
Iya, kenapa memangnya?”
“Tidak papa, hanya saja aku melihat dia di apartemenmu semalam. Apa dia tinggal
denganmu? Bukannya aku ingin tahu, hanya saja aku mungkin perlu berkenalan juga
dengannya, sebagai asisten yang baik tentunya.”
“Oh
tidak, dia hanya menginap sehari, sekarang dia kembali ke rumahnya.”
Menginap
sehari? Apa aku harus yakin tidak ada yang mereka lakukan semalam? Arghhh!!!
Kenapa otakku jadi begini, berhentilah berpikiran negatif!
“Oh
begitu, ya sudah kak, aku tidak akan bertanya lagi. Aku akan menyelesaikan
tugasku setelah itu pulang bersamamu.”
“Tumben sekali, kau tidak mau jalan kaki?”
Aku menggeleng, dan tersenyum tanpa menjawabnya lagi. Apa benar mereka hanya teman? Karena sebelumnya, aku ingat wajahnya, dia pernah datang sekali ke Yayasan Yungpyung, saat wisuda angkatan kelas 12. Ya, wanita itu, aku masih ingat jelas.
Skip>>>
Aku
mengetuk pintu kamarnya. Dia menyuruhku untuk membantunya menyelesaikan
beberapa tugas. Aku pun masuk, aku mungkin sedikit terlambat karena baru
selesai mandi, sedangkan ponselku sudah berdering sejak 15 menit yang lalu.
“Kak?”
Aku mencarinya di ruang kerjanya. Kenapa tak ada siapa pun, apa dia pergi lalu
meninggalkan semua tugasnya padaku? uh tega sekali.
Aku
keluar dari ruang kerjanya, dia bilang meletakkan kertas makalah itu di samping
tempat tidur, jadi aku menuju ke kamar. Aku membuka pintu, “ Huaa!!!”
Kami
sama-sama menjerit. ‘( Name) apa yang kau lakukan!”
“Kau
bilang aku harus mengambil makalahnya di kamarmu. Mana aku tahu kau habis
mandi!” Sungguh, ini memalukan, aku melihatnya tanpa pakaian sehelai pun, jadi, siapa
yang harus merasa malu di sini? Aku si bisa saja menang telak, menyenangkan
sekali melihat perut kotak-kotaknya. Xixixi.
“Masuklah. Aku sudah siap.”
Aku
berpura-pura mengetuk pintu kemudian masuk dengan wajah yang sudah merah
seperti tomat. Tunggu dulu, yang seharusnya malu siapa? Kenapa pula aku yang
menunduk di sini?.
“Jadi mana makalahnya kak sini biar kuselesaikan.”
Dia
melirik kertas itu di tempatnya. Aku segera mengambilnya lalu pergi dengan
cepat. Huff. Untunglah suasana canggung itu tak berlangsung lama. Sudah pasti
dia merasa malu miliknya di perlihatkan pada orang asing. Hahaha beruntungnya
aku, ternyata diam-diam aku membayangkannya.
Gelap!
Tiba-tiba saja lampu apartemenku mati. Aku langsung menjerit sekuatku. Sampai
tetangga sebelahku datang, dan Kak Sehun juga ikut menghampiri. “ Kenapa?”
“Aku
takut gelap.”
“
Maaf mengganggu kenyamanan Anda, anak ini biar saya yang urus.”
“Huf. Ku pikir ada apa, dia menjerit keras sekali.”
Kak
Sehun menuntunku ke apart-nya. Dia mencoba menenangkanku. Ya, sejak kecil aku
memang phobia dengan semua hal yang berbau kegelapan, termasuk warna hitam. Ibu
selalu memelukku saat semuanya gelap, aku terbiasa dengan pelukannya, bahkan
sekarang, aku masih tidak menyangka akan jauh dari pelukan Ibu.
“ Mungkin
ada korsleting listrik, besok kusuruh pihak apartemen bertanggung jawab. Malam
ini kau tidur di sini saja. oh ya, selesaikan tugasmu dulu sebelum tidur.”
“
Terima kasih.”
Tanpa
banyak bicara kukebut semuanya, aku terbiasa bekerja cepat, apalagi kalau
mata tinggal 5 watt, saking cepatnya aku bekerja sampai tidak menyadari kalau
tugasku mampir ke dalam mimpi.
***
Komentar