“APA JADI ASISTEN DOSEN? SIAPA? AKU?”
Tiba-tiba
saja Junior Kim salah satu teman dekat (...), datang dan langsung mengatakan
kalau (...) di pilih menjadi asisten dosen. Sontak (...) bukannya bahagia,
malah meronta tak terima dengan kabar itu.
“Iya, kau (...), kau tidak ingat, jika ada pengumuman atau apa pun selalu kau
yang di panggil. Aku sebenarnya iri, tapi tak apalah, kau memang pantas, karena
kau care pada kami.”
“Kau
kata siapa?”
“Kemarin profesor mencarimu. Tapi kau sudah pulang. Nanti kau harus menemuinya
secara langsung, dan minta penjelasan darinya.”
“Aku
tidak mau.”
“Lah, kenapa? harusnya kau senang, semua di sini mengharapkan ada di posisimu.
Kau bisa sekolah dan di bayar, apalagi dosennya tampan dan muda seperti
profesor. Kalau bisa aku sih mau aaja tukar posisi.”
“Kalau begitu ayo tukar posisi!”
“Hhhh -_- kau tak tahu rasanya kenikmatan dunia ya? Dasar bodoh! Sudah temui
saja.”
(...)
masih berpikir bagaimana bisa dia di pilih menjadi asisten dosen? Memang sih,
selama setengah bulan ini dia yang tampak aktif di kelas, baik di organisasi
non kelas, tapi, itu semata-mata untuk mencari nilai plus, bukan untuk menjadi
asdos. Justru itu, karena dosennya Sehun dia menjadi berat hati,, rasanya aneh
karena harus mendampingi dosen yang masih muda.
“Kau, tidak boleh menolak. Katanya kalau menolak nilaimu akan berubah menjadi
minus.”
“HAH? APA? INI PEMAKSAAN NAMANYA!”
***
---You
Pov---
Jadi
apa namanya, aku harus pindah kos-an hanya karena ini? Dia! Profesor itu, seenak
jidatnya menyuruhku pindah. Aku bahkan sudah menolak menjadi asistennya. Kenapa
dia memaksa, bahkan mengancamku dengan nilai? Oh Ayah dan Ibuku bukannya
menolak, justru mendukungku. Mereka terlanjur bangga putri tunggal mereka
menjadi asisten dosen.
Kenapa
harus aku? Aku ini tidak pintar. Mereka hanya pernah bilang kalau aku lugu,
frontal dan cukup bodoh. Mana unggulnya? Aissh!!! Dia benar-benar dosen
ter-ANEH sedunia. Baiklah! Syukuri saja, jangan terus menerus mengeluh. Aku
pernah membuat janji menjadi gadis yang dewasa dan anti mengeluh. Inilah sebuah
kesempatan, kenapa pula harus ku sia-siakan? Benar bukan? ternyata kelabilan
positifku muncul di waktu yang tepat.
Tiba-tiba
kekesalanku sirna seketika. Pria yang baru saja membuatku kesal tiba-tiba saja
datang ke apartemenku, ya, jelas saja datang. Tetangganya sedang kesusahan
beres-beres karena perintahnya, tentu saja dia wajib membantu!
“Lumayan juga, sepertinya kau mampu membereskan sendiri. ya kan?”
“Heh??? Yang benar saja!” Upss! Inilah kelemahanku, selalu keceplosan.
“kau
sudah berani rupanya ya.”
“Maaf
saya keceplosan.”
“Kau
memiliki sindrom yang suka mengeluarkan isi hatimu ya?”
“Adakah?”
Sehun
hanya mengangguk, oh seperti itu rupanya, aku baru tahu ada sindrom seperti
itu. kalau begitu, bahaya juga ya. Kalau di biarkan terus menerus, bisa-bisa
aku membongkar semua rahasiaku di depan umum. Bayangkan jika aku bekerja di
departemen negara? Bisa saja aku membocorkan sandi negara pada pihak tak
bertanggung jawab. Argghh! Sungguh bodoh!
“Jadi aku harus tinggal di sini sampai lulus?”
“Memang kau mau hidup nomaden berpindah-pindah?”
“Ya
kukira kau akan menyuruhku pindah lagi.”
“Tidak
akan. Oh sebentar ya, ponselku bunyi.” Dia keluar dengan tergesa-gesa, kenapa
wajahnya jadi merah? Apa telepon dari rumah sakit? Ah. Terserah dia saja,
lagi pula untuk apa aku mencampuri urusannya.
Aku sibuk
membereskan semuanya, mulai dari meletakkan cabinet kecil di samping kasur
busa, dan meletakkan semua perlatan kuliahku. Kamar ini ternyata lebih luas
dari kosanku sebelumnya, apalagi letaknya di lantai 3, saat balkon di buka,
hmm... udara sejuk masuk mengisi seluruh ruangan.
“Wah, (Name) kau cepat juga, sudah beres rupanya.”
Aku
langsung menoleh, wajahnya terkena terpaan sinar matahari langsung dari balkon,
dan rambutnya yang kecokelatan bergoyang mengikuti arah angin. Dia, masih sangat
tampan, aku berhenti sejenak dengan otakku, mataku tak mau juga beralih dari
wajahnya, kenapa hatiku kembali berdesir. Sudah lama sekali, aku tidak
merasakan ini sebelumnya.
“Hey. Sudah kubilang jangan sering melamun!”
“Oh
ya, maaf.”
Dia
seperti sebuah air, terkadang dia tenang, amat tenang hingga orang lain
berpikir kalau sosoknya amat sulit di raih. Dan terkadang dia hangat, membuat
siapa pun merasakan kenyamanan yang tak pernah dia dapatkan sebelumnya. Oh
Sehun, biar bagaimanapun dia tetaplah penyelamatku.
“Mau
mengadakan diner bersama? Sebagai ucapan selamat atas kepindahanmu.”
“Harusnya aku yang mengajak. Kenapa jadi Kakak!”
“Baiklah, silakan ajak aku.”
“Tapi aku belum beli apa pun.” Aku merasa sedih, tak ada bahan makanan di kulkas
kecilku.
“Kalau begitu, ayo belanja!”
“Hah? Sekarang?”
Dia
tak menjawabku, tapi langsung meraih pergelangan tanganku. Tunggu! Tidak boleh
begini, dia tidak boleh seenaknya menarikku. Harusnya aku menepisnya, tapi jika
ku tepis, nanti dia berpikir kalau aku berpikir yang tidak-tidak. Tunggu,
biarkan saja. Dia pun membawaku ke supermarket terdekat, seperti ucapannya, dia
memanduku berbelanja. Dengan troli besar, dia mengambil semua yang dia
inginkan.
“Kak, kalau uangku enggak cukup bagaimana coba!”
“Gesek lah.”
“mana
lupa bawa ATM lagi. Kakak sih pakai menarik tangan segala!”
“Ya,
kau hutang padaku dulu.”
“Paling
juga pakai bunga.”
“Sok
tau. memangnya aku rentenir -_-“
Ada
daging, sayur, dan aneka bumbu lainnya serta camilan malam hari. Sepertinya dia
akan membuat stik. “Tapi aku tak punya pemanggang.”
"Apartemen sebelahmu komplit, kau tenang saja.”
Dia
menyuruhku menunggu di depan apartemennya. Aku pun menunggu, dengan tangan
penuh bahan makanan. Selang berapa menit dia akhirnya keluar dengan semua alat
yang dibutuhkan. “Ayo ke balkonmu.”
Hari
semakin larut, stik yang kami buat siap di santap, aku tidak menyangka,
ternyata dia cukup perhatian. Dia juga pandai melakukan semuanya, dia juga yang
mentraktirku malam ini. Aku sangat tersentuh dengan kebersamaan kami malam ini,
di balkon, dengan hidangan yang sangat memuaskan.
“Kak, apa kau baik ke semua orang seperti ini?”
“Hmm... tidak semuanya, hanya orang tertentu saja yang kuanggap istimewa.”
“Apa
aku istimewa?”
“Tentu saja, kau kan asistenku. Dan selama kau tidak membuat onar, kau itu
istimewa.”
“Kau
pasti benci pembuat onar ya.”
"Sedikit.”
“Padahal aku suka membuat onar dan sulit mengontrol ucapan. Kenapa memilihku
jadi asisten dosen.”
“Entah lah, kenapa ya? Takdir mungkin.” Jawabnya simple. Aku menghela napas,
dengan santainya dia berkata takdir. Harusnya dia juga mengatakan itu untuk
pertemuan kami setelah sekian lama, apakah ini takdir?
Melihat
caranya makan yang hening, melihat poninya yang naik turun karena menahan pedas,
dan melihat dia duduk sambil mengobrol denganku, semuanya, semuanya masih
terasa mimpi buatku. Jadi tolong, jangan membuatku jatuh cinta untuk kedua
kalinya, kumohon.
***
Komentar