Kau merasakan udara
dingin Kota tempatmu tinggal begitu menusuk hari ini, dengan 2 balutan jaket
tebal, yang tebalnya melebihi wol membalut tubuhmu. Ada semacam alergi yang
kamu rasakan, makanya kau melakukannya. Sebagai anak kos yang baru saja mangkir
di luar kota, tentunya kau masih begitu cengo. Tak tahu utara selatan,
begitulah kau sebenarnya.
Ya kau, (Y/N), si gadis lugu
yang tiba-tiba saja terjebak di kota asing akibat tuntutan orang tua. Kau ingin
menjadi atlet renang, tapi terjebak di jurusan kedokteran. Sungguh sangat jauh
persepsinya. Keberuntungan, atau nasib
sial? (Y/N) masih merutuki dirinya, di tambah lagi dia memiliki kelemahan
semacam, sulit menghafalkan jalan dan mudah lupa. Bahkan sekarang, dia hampir kebingungan
dengan arah menuju kampus.
(Y/N) berhenti dengan tubuh
menggigilnya, di sebuah halte. Dia melihat seorang pria duduk kedinginan di
sana. ada sedikit rasa simpati, namun
lebih banyak was-was. (Y/N) melirik arlojinya, kelas di mulai 15 menit lagi.
Dia hendak melewati halte itu dan berjalan lurus menuju kampus. Namun suara
keras bersin menghentikanmu. Rasa simpatimu yang semakin besar membuatmu
berjalan mundur.
“Hmm, Pakailah ini Tuan, kau
mungkin kedinginan.” Dia melepaskan satu
balutan jaketnya. Pria itu menatapmu tajam, namun penuh kehangatan. Namun kau
tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena pandanganmu terus menatap arloji
yang tak berhenti berdetak.
“Sama-sama” Kau mencoba membaca
pikirannya, lalu pergi tanpa mengucapkan apa pun lagi. Pria itu masih menatapmu
dari kejauhan, dia sedikit bingung dengan tingkahmu yang terburu-buru.
(Y/N) Berlari semakin cepat
begitu arlojinya melaju menunjukkan pukul 08.50, tinggal 10 menit lagi. Dan kau
harus cepat. Begitu sampai kelas, betapa bersyukurnya, tak ada dosen di sana.
dan hari pertamamu sebagai mahasiswa terselamatkan.
“Hay, Kau pasti (Y/N) salam
kenal yo! Aku Junior.”
"Oh, Junior, salam kenal juga.”
“Kau imut sekali... persis
seperti di foto.”
(Y/N) hanya tersenyum, sejujurnya
dia selalu bingung untuk merespons pujian jadi dia hanya membalas dengan ucapan
“ Terima kasih. Kamu lebih imut.”
Cukup lama, dosen belum juga
masuk. Jadi waktu luang itu mereka pergunakan untuk perkenalan. Dalam 10 menit,
(Y/N) sudah mendapat 10 teman, dia cukup mudah bergaul meskipun tampak lugu dan
polos. Karena watak itulah (Y/N) orang
lain tertarik padanya, dia membuat gelak tawa dari setiap pertanyaan yang
meluncur begitu saja.
“Guys! Dosennya datang!”
Semuanya hening, mereka pikir sosok menyeramkan dengan kaca mata tebal akan menghardik mereka di pertemuan pertama, namun sungguh, semuanya di luar dugaan. (Y/N) tiba-tiba saja menunduk, dia mengambil syal yang merosot jatuh dari lehernya. Dia pun kembali duduk, dan betapa terkejutnya dia mendapati pria yang orang-orang sebut sebagai dosen.
“Itu dosen kita?”
“Wahhh tampan. Kalau gini aku
sih betah belajar dua puluh empat jam nonstop di kampus.”
“Tampan? Bukankah dia pria di
halte tadi?” (Y/N) tampak berpikir, Dia cukup fokus dengan arlojinya hingga tak
menyadari bahwa sebenarnya dosen tampan itu adalah dosennya.
Matanya menerawang pada kisah 5
tahun silam. (Y/N) mengidolakannya sejak SMP, (Y/N) saat itu bersekolah di sekolah swasta yang TK sampai
SMA-nya berada dalam satu instansi. Cerita itu bermula karena (Y/N) yang
teramat menyukai renang. Namun saat (Y/N)
berlatih, tiba-tiba dia merasa kram di kakinya. Dia hampir mati
tenggelam. Jika bukan karena Sehun, mungkin dia sudah mati.
Sejak saat itu, (Y/N) mulai mengamatinya,
mencuri pandang ketika kakak populer itu lewat di sekitar gedung SMP. Waktunya
tidak lama di SMA, karena saat (Y/N) kelas satu SMP, Sehun sudah di pertengahan
akhir SMA. Bagi Sehun, (Y/N) hanyalah fans biasa dari sekian banyak gadis. Tapi
bagi (Y/N), Sehun sangat istimewa. Namun
perasaan itu masih berlanjut hingga masa
SMP-nya berakhir, meski tak pernah lagi melihat. Dan sekarang dia melihat pria yang tak pernah
dia duga sebelumnya, bahkan menjadi dosen pengajarnya?
Untungnya, kisah lampau itu hanya
cinta monyet, sekarang (Y/N) sudah merasa lebih rileks daripada sebelumnya,
jantungnya tak lagi berdebar hebat. Kini, (Y/N) hanya merasa takjub saja bisa
bertemu kembali dengan cinta pertamanya, bukan berarti dia akan jatuh cinta
kembali pada Profesor Sehun.
“Perkenalkan, Saya profesor Oh
Sehun. Kalian tak perlu memanggilku Pak, panggil saja Kakak profesor, karena
umur kita yang tidak jauh berbeda. Senang bertemu kalian.”
“Wah bukankah dia jenius? Masih
muda sekali.” Bisik Junior padaku.
“Kak perkenalannya kurang!”
“Bukankah harus ada pemanasan
materi?”
“Jangan!!! Hatinya sudah cukup
panas kok Kak.”
“Kak.” Tiba-tiba saja (Y/N)
berdiri, semua siswa sontak menoleh padanya, termasuk dosen tampan itu. Mereka
pikir (Y/N) akan mengajukan pertanyaan.
“Hmm Tidak jadi.” Dengan
polosnya Dia kembali duduk seolah tak memandang sekeliling yang menunggu
ucapannya. Dan dengan gamblangnya dia katakan “Tidak jadi”
Kemudian (Y/N) hanya menggaruk
kepalanya yang tak gatal, seraya berpikir “ Kenapa aku berdiri coba?”
***
(you/name/...)
membuka pintu kos-kosannya, dia merasa cukup lelah untuk harinya sebagai
mahasiswa, ya, memang tugasnya tak sebanyak saat dia SMA, jujur saja, ada rasa
rindu yang meyelinap di hatinya, dia merindukan teman lamanya, (...) belum
merasa puas jika tak menghubungi mereka satu persatu. Ya, seperti itulah dia,
gadis frontal yang melakukan apa pun yang dia pikirkan. Dia selalu membuktikan
perasaannya dengan tindakan. Jika dia suka, maka akan katakan suka, dan jika
beci maka dengan gamblangnya akan dia katakan ‘Aku tidak suka ini, jangan
mendekatiku’
Banyak pria yang menyerah
mendapatkan hati wanita itu, dia sudah mundur lebih dulu setelah tahu betapa
sakitnya mendapat penolakan. Sejauh ini, belum ada yang berusaha keras untuk
meluluhkan hati (...) Karena dia masih cukup kekanakan untuk memahami masalah
cinta. Yang dia butuhkan adalah perlindungan dari orang yang benar-benar tulus
padanya.
Suara alarm membangunkannya,
lebih tepatnya sejak 15 menit yang lalu (....) mengucek mata dan menguap
berkali-kali. Lagi-lagi dan lagi-lagi dia selalu bangun pada peringatan ke-2,
seperti biasa, dia terburu-buru. Kemudian berlari menuju kamar mandi.
“Kenapa pula aku harus
mengambil kelas pagi!” Dia ta berhenti merutuk.
Pertengahan musim dingin masih
belum berakhir, dia mencari jaket pelapis luarnya, jika belum dua jaket dia
masih merasa menginggil. (...) mengacak seluruh isi lemarinya. “ Kok nggak
ada?” Pikirnya. Dia mencoba mengingat, dimana dia meletakkan jaketnya. Dan
cukup lama berpikir akhirnya dia ingat, beberapa hari yang lalu ia pinjamkan
pada seseorang di halte. Sudah berapa kali dia lupa, dia selalu saja mudah
melupakan sesuatu.
(...) Mengunci pintu kosan dan
langsung terbirit ke kampus. Bukannya dia tak mampu membeli sepeda atau
kendaraan lain. Hanya saja, dia tak tahu bagaimana cara menggunakannya, sejak
SMP-SMA, sekolahnya sangat dekat dengan rumah, jadi dia tak pernah sekalipun
naik kendaraan. Bus-pun tak pernah, setiap pergi jauh pasti Ayah yang akan
mengantarnya. Dia merasa menyesal sekarang karena terlahir sebagai anak lugu
yang tak tahu arah.
Dia melewati halte itu lagi,
berharap pria yang ia pinjamkan jaket berada di sana dan akan mengembalikan
jaketnya. Sayangnya halte itu sepi, sepertinya, memang orang sini tak suka naik
bus ya?
(...) melirik arlojinya. “HUAAA
telat nih!!!!”
Cclirtt... Tiba-tiba bugatti
veyron hitam menepi tepat di sebelahnya. (....) sontak terkesiap, (...)
melongok pada jendela mobil yang tertutup rapat. Dia mencoba mengacuhkannya,
mungkin saja mobil itu hendak parkir di area sini. (....) melangkah semakin
cepat, dan mobil itu ikut satu langkah di sampingnya. Dia mulai curiga, apa itu
orang usil?
(...) mengetuk jendelanya, dia
mulai kesal. “OM, BAPAKKU PREMAN, KAKEK SAYA TENTARA BERPANGKAT TINGGI, PAMAN
SAYA JADI INTEL. Jadi tolong, jangan berani macam-macam ya!” Dia mencoba
menggertak.
Jendela itu membuka perlahan,
dengan berkacak pinggang dan memasang muka garang (....) menunggu siapa sosok
yang berani menganggunya. “ Kau mau macam-macam denga-n....”
Degg!, begitu melihat siapa
pengemudi mobil itu, dia tak melanjutkan ucapannya. “ Prof-esor?” (...) masih
tidak percaya kalau pemilik mobil itu adalah Sehun, pria yang tak pernah dia
bayangkan berada di sana sekarang.
“Maaf ya, apa saya menakutimu?”
“Oh? Tidak kok.”
Kau bukannya menakutiku, tapi membuatku jantungan, untung saja belum
sampai keluar sumpah serapahku.
“Mau ikut denganku? Sekalian ke
kampus, kau di kelasku hari ini kan?”
“Hah? Profesor kenal saya?”
(...) Masih berdiri bingung di dekat jendela.
“Hey, kau kan muridku masa aku
enggak kenal.”
Kebanyakan profesor tidak menghafal
muridnya satu-satu, mereka cukup lelah untuk menghafal. Atau mungkin karena
profesor termasuk salah satu orang jenius, makanya dia mudah menghafal orang.
Ataukah, dia masih mengingat wajah (...), gadis yang pernah dia selamatkan saat
hampir tenggelam 5 tahun silam.
“Masuklah. Jangan melamun di
jalan.”
“Saya jalan saja deh Kak, toh sudah dekat.”
“2 menit lagi kelas di mulai. Mau menolak?”
Tanpa banyak bicara (...)
langsung berlari ke pintu berlawanan, dia membukanya cepat dan masuk tanpa
aba-aba. “Ayo Kak berangkat! Keburu profesornya masuk.”
“Lah kan ini kelas saya?”
Eh, (...) baru ingat kalau dia
bersama profesor yang akan mengajarnya. (...) merasa malu karena sifat
pelupanya membuat dia tampak bodoh. Wajahnya langsung memerah.
“Apa kita pernah bertemu
sebelumnya?”
“Hah? Oh. Mungkin.” (...)
merasa kecewa, rupanya Sehun tak benar-benar mengingatnya.
“Kau yang memberiku jaket di
halte, benar?”
Jaket? Halte? Oh apakah pria
yang bersin dan kedinginan itu adalah Sehun? Kenapa dia tidak ingat wajahnya,
dan kenapa pula dia tidak tahu. Apakah karena tergesa-gesa.
“Padahal kau alergi dingin.
Tapi malah memberikan jaketmu padaku.”
“Darimana Anda tahu kalau saya
alergi?”
“Apa kau lupa kalau aku dokter?
Dengan sekali lihat aku tahu.”
Dia merasa malu lagi, (...)
kalau ia istimewa, dan Sehun memperhatikannya, rupanya dia memang jenius, karna
tahu dalam sekali lihat. “ Tapi btw, terima kasih ya.”
“Oh iya, sama-sama Kak.” aku mengalihkan pikiranku, benar-benar canggung rasanya.
“santai saja, kau bisa bicara
formal saat di forum.”
“Oh oke.”
Menyenangkan sekali bisa
mendengar suara berat pria ini, (...) tak menyangka bisa berada dalam satu
mobil dengan cinta pertamanya. Jantung
(...) normal-normal saja, itu berarti, dia sudah tak menyimpan perasaan
apa pun pada Sehun. Syukurlah! Begitu batinnya.
***
Komentar