Langsung ke konten utama

Sehun X Reader PART 1

 




NOTED!

Sewaktu saya membuka file-file lama, saya menemukan sebuah folder fanfiction yang pernah saya tulis 5 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2018. Saya ingin sedikit membagikan gaya tulisan saya pada waktu itu...ini benar-benar versi raw tanpa proses edit ya karena saya sedikit malas mengedit cerita yang sudah lama. Ya, setelah membacanya berkali-kali tidak habis pikir, kenapa saya bisa membuat cerita seperti ini, mungkin saja pada waktu itu saya masih menjadi exo-l makanya saya sangat terobsesi dengan yang namanya Sehun. Silakan membaca, jangan dikoreksi karena saya menulisnya hanya untuk senang-senang saja~

_________________

Kau merasakan udara dingin Kota tempatmu tinggal begitu menusuk hari ini, dengan 2 balutan jaket tebal, yang tebalnya melebihi wol membalut tubuhmu. Ada semacam alergi yang kamu rasakan, makanya kau melakukannya. Sebagai anak kos yang baru saja mangkir di luar kota, tentunya kau masih begitu cengo. Tak tahu utara selatan, begitulah kau sebenarnya.

                Ya kau, (Y/N), si gadis lugu yang tiba-tiba saja terjebak di kota asing akibat tuntutan orang tua. Kau ingin menjadi atlet renang, tapi terjebak di jurusan kedokteran. Sungguh sangat jauh persepsinya.  Keberuntungan, atau nasib sial? (Y/N) masih merutuki dirinya, di tambah lagi dia memiliki kelemahan semacam, sulit menghafalkan jalan dan mudah lupa. Bahkan sekarang, dia hampir kebingungan dengan arah menuju kampus.

                (Y/N) berhenti dengan tubuh menggigilnya, di sebuah halte. Dia melihat seorang pria duduk kedinginan di sana. ada sedikit rasa  simpati, namun lebih banyak was-was. (Y/N) melirik arlojinya, kelas di mulai 15 menit lagi. Dia hendak melewati halte itu dan berjalan lurus menuju kampus. Namun suara keras bersin menghentikanmu. Rasa simpatimu yang semakin besar membuatmu berjalan mundur.

                “Hmm, Pakailah ini Tuan, kau mungkin kedinginan.” Dia melepaskan  satu balutan jaketnya. Pria itu menatapmu tajam, namun penuh kehangatan. Namun kau tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena pandanganmu terus menatap arloji yang tak berhenti berdetak.

                “Sama-sama” Kau mencoba membaca pikirannya, lalu pergi tanpa mengucapkan apa pun lagi. Pria itu masih menatapmu dari kejauhan, dia sedikit bingung dengan tingkahmu yang terburu-buru.

                (Y/N) Berlari semakin cepat begitu arlojinya melaju menunjukkan pukul 08.50, tinggal 10 menit lagi. Dan kau harus cepat. Begitu sampai kelas, betapa bersyukurnya, tak ada dosen di sana. dan hari pertamamu sebagai mahasiswa terselamatkan.

                “Hay, Kau pasti (Y/N) salam kenal yo! Aku Junior.”

                 "Oh, Junior, salam kenal juga.”

                “Kau imut sekali... persis seperti di foto.”

                (Y/N) hanya tersenyum, sejujurnya dia selalu bingung untuk merespons pujian jadi dia hanya membalas dengan ucapan “ Terima kasih. Kamu lebih imut.”

             Cukup lama, dosen belum juga masuk. Jadi waktu luang itu mereka pergunakan untuk perkenalan. Dalam 10 menit, (Y/N) sudah mendapat 10 teman, dia cukup mudah bergaul meskipun tampak lugu dan polos.  Karena watak itulah (Y/N) orang lain tertarik padanya, dia membuat gelak tawa dari setiap pertanyaan yang meluncur begitu saja.

                “Guys! Dosennya datang!”

               Semuanya hening, mereka pikir sosok menyeramkan dengan kaca mata tebal akan menghardik mereka di pertemuan pertama, namun sungguh, semuanya di luar dugaan. (Y/N) tiba-tiba saja menunduk, dia mengambil syal yang merosot jatuh dari lehernya. Dia pun kembali duduk, dan betapa terkejutnya dia mendapati pria yang orang-orang sebut sebagai dosen.

                “Itu dosen kita?”

                “Wahhh tampan. Kalau gini aku sih betah belajar dua puluh empat jam nonstop di kampus.”

                “Tampan? Bukankah dia pria di halte tadi?” (Y/N) tampak berpikir, Dia cukup fokus dengan arlojinya hingga tak menyadari bahwa sebenarnya dosen tampan itu adalah dosennya.

                Matanya menerawang pada kisah 5 tahun silam. (Y/N) mengidolakannya sejak SMP, (Y/N) saat itu  bersekolah di sekolah swasta yang TK sampai SMA-nya berada dalam satu instansi. Cerita itu bermula karena (Y/N) yang teramat menyukai renang. Namun saat (Y/N)  berlatih, tiba-tiba dia merasa kram di kakinya. Dia hampir mati tenggelam. Jika bukan karena Sehun, mungkin dia sudah mati.

                Sejak saat itu, (Y/N) mulai mengamatinya, mencuri pandang ketika kakak populer itu lewat di sekitar gedung SMP. Waktunya tidak lama di SMA, karena saat (Y/N) kelas satu SMP, Sehun sudah di pertengahan akhir SMA. Bagi Sehun, (Y/N) hanyalah fans biasa dari sekian banyak gadis. Tapi bagi (Y/N), Sehun sangat istimewa. Namun perasaan itu masih berlanjut hingga  masa SMP-nya berakhir, meski tak pernah lagi melihat.  Dan sekarang dia melihat pria yang tak pernah dia duga sebelumnya, bahkan menjadi dosen pengajarnya?

                Untungnya, kisah lampau itu hanya cinta monyet, sekarang (Y/N) sudah merasa lebih rileks daripada sebelumnya, jantungnya tak lagi berdebar hebat. Kini, (Y/N) hanya merasa takjub saja bisa bertemu kembali dengan cinta pertamanya, bukan berarti dia akan jatuh cinta kembali pada Profesor Sehun.

             “Perkenalkan, Saya profesor Oh Sehun. Kalian tak perlu memanggilku Pak, panggil saja Kakak profesor, karena umur kita yang tidak jauh berbeda. Senang bertemu kalian.”

                “Wah bukankah dia jenius? Masih muda sekali.” Bisik Junior padaku.

                “Kak perkenalannya kurang!”

                “Bukankah harus ada pemanasan materi?”

                “Jangan!!! Hatinya sudah cukup panas kok Kak.”

                “Kak.” Tiba-tiba saja (Y/N) berdiri, semua siswa sontak menoleh padanya, termasuk dosen tampan itu. Mereka pikir (Y/N) akan mengajukan pertanyaan.

                “Hmm Tidak jadi.” Dengan polosnya Dia kembali duduk seolah tak memandang sekeliling yang menunggu ucapannya. Dan dengan gamblangnya dia katakan “Tidak jadi”

                Kemudian (Y/N) hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal, seraya berpikir “ Kenapa aku berdiri coba?”

***

(you/name/...) membuka pintu kos-kosannya, dia merasa cukup lelah untuk harinya sebagai mahasiswa, ya, memang tugasnya tak sebanyak saat dia SMA, jujur saja, ada rasa rindu yang meyelinap di hatinya, dia merindukan teman lamanya, (...) belum merasa puas jika tak menghubungi mereka satu persatu. Ya, seperti itulah dia, gadis frontal yang melakukan apa pun yang dia pikirkan. Dia selalu membuktikan perasaannya dengan tindakan. Jika dia suka, maka akan katakan suka, dan jika beci maka dengan gamblangnya akan dia katakan ‘Aku tidak suka ini, jangan mendekatiku’

                Banyak pria yang menyerah mendapatkan hati wanita itu, dia sudah mundur lebih dulu setelah tahu betapa sakitnya mendapat penolakan. Sejauh ini, belum ada yang berusaha keras untuk meluluhkan hati (...) Karena dia masih cukup kekanakan untuk memahami masalah cinta. Yang dia butuhkan adalah perlindungan dari orang yang benar-benar tulus padanya.

                Suara alarm membangunkannya, lebih tepatnya sejak 15 menit yang lalu (....) mengucek mata dan menguap berkali-kali. Lagi-lagi dan lagi-lagi dia selalu bangun pada peringatan ke-2, seperti biasa, dia terburu-buru. Kemudian berlari menuju kamar mandi.

                “Kenapa pula aku harus mengambil kelas pagi!” Dia ta berhenti merutuk.

                Pertengahan musim dingin masih belum berakhir, dia mencari jaket pelapis luarnya, jika belum dua jaket dia masih merasa menginggil. (...) mengacak seluruh isi lemarinya. “ Kok nggak ada?” Pikirnya. Dia mencoba mengingat, dimana dia meletakkan jaketnya. Dan cukup lama berpikir akhirnya dia ingat, beberapa hari yang lalu ia pinjamkan pada seseorang di halte. Sudah berapa kali dia lupa, dia selalu saja mudah melupakan sesuatu.

                (...) Mengunci pintu kosan dan langsung terbirit ke kampus. Bukannya dia tak mampu membeli sepeda atau kendaraan lain. Hanya saja, dia tak tahu bagaimana cara menggunakannya, sejak SMP-SMA, sekolahnya sangat dekat dengan rumah, jadi dia tak pernah sekalipun naik kendaraan. Bus-pun tak pernah, setiap pergi jauh pasti Ayah yang akan mengantarnya. Dia merasa menyesal sekarang karena terlahir sebagai anak lugu yang tak tahu arah.

                Dia melewati halte itu lagi, berharap pria yang ia pinjamkan jaket berada di sana dan akan mengembalikan jaketnya. Sayangnya halte itu sepi, sepertinya, memang orang sini tak suka naik bus ya?

                (...) melirik arlojinya. “HUAAA telat nih!!!!”

                Cclirtt... Tiba-tiba bugatti veyron hitam menepi tepat di sebelahnya. (....) sontak terkesiap, (...) melongok pada jendela mobil yang tertutup rapat. Dia mencoba mengacuhkannya, mungkin saja mobil itu hendak parkir di area sini. (....) melangkah semakin cepat, dan mobil itu ikut satu langkah di sampingnya. Dia mulai curiga, apa itu orang usil?

                (...) mengetuk jendelanya, dia mulai kesal. “OM, BAPAKKU PREMAN, KAKEK SAYA TENTARA BERPANGKAT TINGGI, PAMAN SAYA JADI INTEL. Jadi tolong, jangan berani macam-macam ya!” Dia mencoba menggertak.

                Jendela itu membuka perlahan, dengan berkacak pinggang dan memasang muka garang (....) menunggu siapa sosok yang berani menganggunya. “ Kau mau macam-macam denga-n....”

                Degg!, begitu melihat siapa pengemudi mobil itu, dia tak melanjutkan ucapannya. “ Prof-esor?” (...) masih tidak percaya kalau pemilik mobil itu adalah Sehun, pria yang tak pernah dia bayangkan berada di sana sekarang.

                “Maaf ya, apa saya menakutimu?”

                “Oh? Tidak kok.”

             Kau bukannya menakutiku, tapi membuatku jantungan, untung saja belum sampai keluar sumpah serapahku.

                “Mau ikut denganku? Sekalian ke kampus, kau di kelasku hari ini kan?”

                “Hah? Profesor kenal saya?” (...) Masih berdiri bingung di dekat jendela.

                “Hey, kau kan muridku masa aku enggak kenal.”

              Kebanyakan profesor tidak menghafal muridnya satu-satu, mereka cukup lelah untuk menghafal. Atau mungkin karena profesor termasuk salah satu orang jenius, makanya dia mudah menghafal orang. Ataukah, dia masih mengingat wajah (...), gadis yang pernah dia selamatkan saat hampir tenggelam 5 tahun silam.

                “Masuklah. Jangan melamun di jalan.”

                “Saya jalan saja deh Kak, toh sudah dekat.”

                “2 menit lagi kelas di mulai. Mau menolak?”

                Tanpa banyak bicara (...) langsung berlari ke pintu berlawanan, dia membukanya cepat dan masuk tanpa aba-aba. “Ayo Kak berangkat! Keburu profesornya masuk.”

                “Lah kan ini kelas saya?”

                Eh, (...) baru ingat kalau dia bersama profesor yang akan mengajarnya. (...) merasa malu karena sifat pelupanya membuat dia tampak bodoh. Wajahnya langsung memerah.

                “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

                “Hah? Oh. Mungkin.” (...) merasa kecewa, rupanya Sehun tak benar-benar mengingatnya.

                “Kau yang memberiku jaket di halte, benar?”

                Jaket? Halte? Oh apakah pria yang bersin dan kedinginan itu adalah Sehun? Kenapa dia tidak ingat wajahnya, dan kenapa pula dia tidak tahu. Apakah karena tergesa-gesa.

                “Padahal kau alergi dingin. Tapi malah memberikan jaketmu padaku.”

                “Darimana Anda tahu kalau saya alergi?”

                “Apa kau lupa kalau aku dokter? Dengan sekali lihat aku tahu.”

           Dia merasa malu lagi, (...) kalau ia istimewa, dan Sehun memperhatikannya, rupanya dia memang jenius, karna tahu dalam sekali lihat. “ Tapi btw, terima kasih ya.”

                “Oh iya, sama-sama Kak.” aku mengalihkan pikiranku, benar-benar canggung rasanya.

                “santai saja, kau bisa bicara formal saat di forum.”

                “Oh oke.”

            Menyenangkan sekali bisa mendengar suara berat pria ini, (...) tak menyangka bisa berada dalam satu mobil dengan cinta pertamanya. Jantung  (...) normal-normal saja, itu berarti, dia sudah tak menyimpan perasaan apa pun pada Sehun. Syukurlah! Begitu batinnya.

***

 

Komentar

Populer

Analisis Puisi “ IBU” Karya D. Zawawi Imron

  “ IBU” Karya D. Zawawi Imron   Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting Hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir Bila aku merantau Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar Ibu adalah gua pertapaanku Dan ibulah yang meletakkan aku di sini Saat bunga kembang menyerbak bau sayang Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi Aku mengangguk meskipun kurang mengerti Bila kasihmu ibarat samudera Sempit lautan teduh Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh Lokan-lokan, mutiara dan kembaang laut semua bagiku Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu Lantaran aku tahu Engkau ibu dan aku anakmu Bilaa berlayar lalu datang angin sakal Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ANALISIS PUISI WS RENDRA 'Orang-orang miskin'

  Orang-Orang Miskin karya : WS Rendra Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya. Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan. Bila kamu remehkan mereka, di jalan  kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan, dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Jangan kamu bilang negara ini kaya karena orang-orang berkembang di kota dan di desa. Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. Dan perlu diusulkan agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa. Orang-orang miskin di jalan masuk ke dalam tidur mala

Tentangku dan Rasa

Source pic by : pinterest Dulu aku sempat berpikir jika manusia memang terlahir dengan kesempurnaan mereka masing-masing. Namun pada akhirnya aku menyadari, jika tidak ada satu orang pun yang memiliki kesempurnaan sedetil-detilnya. Jika memikirkan kita terlahir sempurna itu termasuk pelanggaran ketaqwaan kepada sang pencipta. Maka berlagak seolah kita sempurna adalah pelanggaran terbesarnya. Maka dari itulah, kehidupan ku yang porak poranda. Jiwaku yang terkekang, dan hatiku yang lama mati rasa, adalah bentuk dari ketidak sempurnaan yang di berikan oleh-Nya. Rasanya berat berbagi serpihan kisah ini, dan menuangkan kisahnya dalam bentuk tulisan. Namun, ku kuatkan tekadku untuk menceritakannya. Karena bagiku, ini bukanlah kisah dramastis ala bollywood maupun drama korea yang penuh dengan fantasi. Kisah ini, ku tuangkan penuh ketulusan, dan rasa syukur karena ku harap dapat menginspirasi semua orang. Aku bukanlah gadis periang yang acuh terhadap semua cobaan, aku kera

Analisis Intertekstual Puisi ‘Malin Kundang ’ Karya Joko Pinurbo

  MALIN KUNDANG Puisi Joko Pinurbo Malin Kundang pulang menemui ibunya yang terbaring sakit di ranjang. Ia perempuan renta, hidupnya tinggal menunggu matahari angslup ke cakrawala.   “Malin, mana istrimu?” “Jangankan istri, Bu. Baju satu saja robek di badan.” Perempuan yang sudah tak tahan merindu itu seakan tak percaya. Ia menyelidik penuh curiga.   “Benar engkau Malin?” “Benar, saya Malin. Lihat bekas luka di keningku.” “Tapi Malin bukanlah anak yang kurus kering dan compang-camping. Orang-orang telah memberi kabar bahwa Malin, anakku, akan datang dengan istri yang bagus dan pangkat yang besar.” “Mungkin yang Ibu maksud Maling, bukan Malin.” “Jangan bercanda, mimpiku telah sirna.”   Walau sakit, perempuan itu memberanikan diri bertanya: “Ke mana saja engkau selama ini?” “Mencari ayah di Jakarta.” Lalu kata ibu itu: “Ayahmu pernah pulang dan aku telah sukses mengusirnya.”   “Benar engkau Malin?” Ibu itu masih juga sangsi. Dan ana

Boneka 1

    14 Juni 2006. Hari ulang tahunku yang ke-5, Ibu diam-diam memberiku boneka berbentuk hati berwarna merah, dan meletakkan di tepi ranjangku. Aku senang, sampai sekarang boneka itu masih bertengger manis di ranjangku.      14 Juni 2007. Hari ulang tahunku yang ke-6, Ayah mengajakku pergi ke plaza, tanpa Ibu, hanya ada aku dan adikku. Aku senang, karena setelah satu tahun aku akhirnya bertemu Ayah, dia mengingat hari ulang tahunku, dan memberiku boneka anjing dan domba.     14 Juni 2008. Tidak ada lagi yang memberiku boneka.  Mungkin kamarku sudah penuh boneka, jadi boneka tidak diperlukan lagi.      14 Juni 2009. Tidak ada lagi laki-laki itu...kemana hilangnya?  Lagi-lagi aku hanya bisa bilang "entah"     14 Juni 2010. Aku diperkenalkan dengan orang asing, yang harus ku sebut dengan sebutan "Ayah" Baiklah.      14 Juni 2011. Ibuku seperti orang asing. Aku tidak begitu dekat  dengannya. Bahkan saat didekatnya, hanya ada rasa takut menjalariku.