Feminisme eksistensialis adalah feminisme yang mendambakan adanya kebebasan dalam menemukan kenikmatan diri yang tidak terpenuhi oleh sistem, bebas dari paksaan-paksaan yang ketat, dari hambatan yang tidak seharusnya. Feminisme ini lebih menekankan pada hak-hak wanita yang banyak direbut oleh sistem (adat) dan menyoroti hak-hak istimewa milik pria yang tidak dimiliki wanita.
Hal tersebut-lah yang menjadi inti yang diulas dari cerpen Gerhana Bulan yang ditulis oleh Djenar Maesa Tokoh ”saya” dalam cerpen ”Gerhana Mata” ini menunjukkan bentuk kepuasaannya ketika harus menentang sistem norma. Caranya, dengan berselingkuh bersama suami orang lain. Bentuk kenikmatan tersebut dapat diamati pada kutipan berikut.
“Dan hanya dialah yang saya ingin lihat, sang kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa mengeluarkan lenguhan.”
Kutipan di atas menarasikan kebahagiaan yang direngkuh oleh tokoh ”saya” tiap kali bertemu dengan lelaki kekasihnya. Tokoh ”saya” berani menentang norma-norma yang berlaku di masyarakat untuk dapat menikmati kebebasan hidupnya. Seting waktu siang sebagai latar pertemuan tokoh ”saya” dan kekasihnya juga wujud penentangan terhadap sistem dan paksaan yang mengikat. Tidak hanya sebatas kutipan itu saja, keeksistensialisan dalam cerpen ini semakin dikuatkan pada kutipan di bawah ini.
“Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti kecuali saya. Tidak ada apa pun di dunia yang lebih penting dari saya. Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.” Dalam kutipan tersebut, tokoh ”saya” merasa dinomorsatukan oleh kekasihnya. Dia mendapat kebahagian karena merasa diistimewakan. Tokoh ”saya” semakin merasakan cinta ketika kekasihnya menganggapnya yang paling utama, tiada yang lain.
Tidak hanya konsep feminism eksistensialis saja, namun masih ada wujud feminisme sosialis sangat terlihat pada posisi tokoh ”saya” yang menjadi kekasih dari lelaki beristri. Kutipan yang memberikan gambaran tentang posisi tokoh ”saya” adalah sebagai berikut.
“Saya tahu, saya akan mengulanginya lagi. Tetapi dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala siang, bukan kala pagi atau malam hari. Kala siang dengan durasi waktu yang amat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam penantian dan rindu yang mengimpit”
Dalam kutipan tersebut, kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya tokoh ”saya” sadar akan posisinya. Namun, dia tetap bertahan dan memilih melawan. Tokoh ”saya” menunjukkan konsep feminisme sosialis lewat harapannya yang terus menginginkan sang lelaki beristri untuk menikahinya. Tokoh ”saya” melakukan perlawanan terhadap tatanan sosial di masyarakat yang memandang tentu saja memandang hina posisi seperti yang ditunjukkan tokoh ”saya”. Harapan-harapan tokoh ”saya” dapat kita amati pada kutipan berikut.
“Mungkin suatu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak hanya bertemu kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban karena cinta telah membutakan kami berdua. Mungkin.”
Kutipan di atas menunjukkan harapan tokoh “saya” yang tidak kunjung padam. Kemudian pada akhir cerita dikisahkan harapan tokoh “saya” berhasil diwujudkan. Seperti tergambar dalam kutipan
“Enam tahun sudah waktu bergulir. Sejak kemarin, di jari manis kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya terukir.”
Kutipan ini menunjukkan bahwa perlawanan tokoh “saya” tidak sia-sia. Dia berhasil mendapatkan hak-haknya sebagai wanita dalam akhir cerita
Jadi kesimpulannya jika di interpretasikan terhadap realita , tokoh “saya” mempunyai watak yang terlalu mengagungkan cinta, sehingga dia berani menentang kehendak norma masyarakat. Watak terlalu mengagungkan cinta dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta.”
Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa tokoh “saya” begitu membutuhkan cinta, sampai-sampai ia tidak peduli apa yang dikatakan orang lain. Ia pun sangat dibutakan oleh cinta yang ia agung-agungkan tersebut. Selain itu, watak lain adalah watak egois, keras kepala, hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang ingin saya lihat “
Komentar