Langsung ke konten utama

Analisis Ecokritik Novel Saman-Ayu Utami

 

Realita Lingkungan Hidup dalam Novel Saman


            Novel dengan Judul Saman ini adalah Novel pertama Karya Ayu Utami yang terbit pada Bulan April 1998, Judul Saman sendiri diambil dari nama samaran tokoh dalam novel. Dikisahkan tokoh utama bernama Athanasius Wisanggeni adalah seorang Pastor di Gereja kecil Prabumulih, Sumatera Selatan.

Wisaggeni pernah menjadi pembimbing rohani empat wanita yang bersahabat dari SD sampai dewasa yang juga menjadi sorotan dalam novel, yaitu : Yasmin Moningka, Laila, Shakun Tala, dan Cok. Melihat latar terbitnya di tahun 1998, tentunya bisa terlihat bahwa Saman dilatarbelakangi masa rezim orde baru di tahun 80an sampai tahun 90an yang terkenal dengan pemerintahannya yang otoriter pada zaman itu.

Saman adalah cerita tentang suatu hubungan persahabatan diantara perempuan yang kemudian memunculkan tema seksualitas dari perspektif perempuan yang masih tabu pada masanya, sehingga menimbulkan kontroversi. Selain itu Saman juga bercerita tentang tindakan besar untuk mengatasi masalah kemanusiaan dan keadilan yang sering terjadi pada masa itu, khususnya di daerah-daerah yang masih terpelosok seperti prabumulih, tempat Wisanggeni mengabdi menjadi Pastor.

Latar pertama dalam Novel berada di New York, Ayu Utami menceritakan tentang sosok Laila yang sedang menunggu seseorang di Central Park. Laila menunggu Sihar, lelaki yang ditemuinya dulu di Pertambangan Offshore yang terletak di Prabumulih. Laila ke sana untuk mengambil beberapa capture sebagai bahan iklan perusahaan yang mengontrak agensinya. Saat pertama bertemu Sihar, ia kagum atas sikap berani Sihar untuk melawan atasannya.

Sihar bersikeras bahwa pengeboran belum bisa dilakukan karena ada sedikit masalah dengan alat bor, namun atasannya berseru untuk melakukan saja apa yang ia suruh. Dengan menyuruh pekerja lain, pengeboran dilakukan dan alhasil mengakibatkan kecelakaan berupa gempa lokal dan salah seorang rekan Sihar terlempar ke laut dengan tak berbekas raga. Dalam keadaan itu, Sihar sangat emosi dan hendak menghakimi atasannya. Namun, Laila menenangkan Sihar dengan berjanji akan mengenalkan Sihar dengan Saman, seorang Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM ).

Lalu siapakah sebenarnya sosok Saman? Pada bagian awal Novel Saman memang menjadi sosok yang misterius sampai pada bab yang lumayan jauh dari pertengahan barulah dijelaskan bahwa Saman adalah nama samaran atau nama baru dari Wisanggeni untuk menghilangkan jejaknya dari kejaran aparat. Sebenarnya apa yang dilakukan Wisanggeni, sampai-sampai ia menjadi buronan? Padahal yang kita ketahui, Wis adalah seorang pastor.

Wis memang dulunya seorang Pastor, ia memutuskan menjadi seorang Pastor dan memilih untuk bertugas di Prabumulih lantaran terikat dengan kenangan masa kecilnya. Masa kecil Wis cukup mistis. Ibu Wis mengalami kejadian mistis ketika mengandung adiknya, mengalami kejadian aneh pula, kemudian suatu hari bayi dalam kandungan Ibu Wis hilang begitu saja. Perut Ibu Wis yang dulunya buncit dikarenakan hamil, mendadak lenyap bersama suara-suara yang didengar Wisanggeni tiap malam. Ibunya meninggal dan ia memutuskan masuk ke Seminari. Pengalaman mistiknya di Prabumulihlah yang menyebabkan Wis memilih bertugas di sana.

Kemudian ketika sedang bertugas di desa tetangga yaitu Lubukrantau, Wis bertemu dengan Upi, seorang gadis remaja yang memiliki gangguan jiwa sampai pada taraf mengganggu dan meresahkan. Masyarakat di Lubukrantau tidak tahu bagaimana merawat atau mendampingi Upi, yang mereka lakukan adalah memasung dan memasukkan Upi ke sebuah ruangan yang dalam penglihatan Wis adalah kandang burung. 

Mungkin itulah yang membuat Wis amat bersimpati pada Upi sampai-sampai begitu seringnya ia mengunjungi Lubukrantau, mengunjungi Upi dan memutuskan membuatkan rumah asap sekaligus rumah yang tidak terlihat seperti kandang lagi untuk Upi. Wisanggeni meminta bantuan berupa dana dari ayahnya yang seorang pensiunan untuk membiayai segalanya.

Wisanggeni terlalu sering berkunjung ke Lubukrantau yang akhirnya menyebabkan orang-orang Lubukrantau menganggapnya orang dari desanya sendiri. Wis juga membantu para petani perkebunan karet dengan membeli bibit-bibit karet yang bagus untuk ditanam di perkebunan Lubukrantau. Wis mengajari warga Lubukrantau untuk membuat sumber perairan dan listrik sendiri dengan memanfaatkan arus air sungai yang deras. 

Ketika kemudian Pemerintah pada tahun itu bertindak sewenang-wenang dengan mengatasnamakan keadilan di Lubukrantau, Wisanggeni mau tidak mau terlibat. Para penguasa berdalih akan membangun suatu perkebunan sawit yang menyejahterkan masyarakat. Aparat pemerintah derah mendatangi tiap penduduk untuk menjual tanah miliknya. 

Namun ketika ada beberapa warga yang tidak ingin menjual tanahnya, aparat pemerintahan itu justru memaksa dengan cara menekan para petani Lubukrantau, siapa lagi yang berkepentingan di sini? Kalau bukan para pengusaha yang rakus dan para penerima suap, yaitu penguasa yang korup.

Wisanggeni bersama dengan masyarakat setempat berusaha membangun kembali lahan yang tidak mau dikompromikan dengan cara menanam kembali pohon-pohon karet muda, yang diharapkan akan berproduksi dan tentu meningkatkan ekonomi mereka. Namun yang dilakukan Wis di Lubukrantau membuat gerah pengusaha dan aparat. 

Ia dicari dan pernah disekap oleh intelijen. Hal itu tidak membuatnya trauma, ia justru berusaha meminta bantuan kepada gereja tempatnya mengabdi. Namun Gereja di Prabumulih tidak bisa membantu Wis. Ia memutuskan untuk menempuh jalannya sendiri dan keluar dari Kepstoran. Wisanggeni beralih menjadi seorang Aktivis Hak Asasi Manusia dan mengganti namanya menjadi Saman.

Namun seiring berjalannya cerita, pembahasan memasuki dunia tani dan politik yang kejam dan brutal yang mana si Saman ini tertaut hatinya untuk mengangkat kehidupan para petani yang khususnya berada di pedesaan transmigrasi. Dan setelah itu cerita tertaut dengan keberadaan sihar yang telah disinggung di awal-awal halaman buku, bagaimana sihar dan saman bersekongkol untuk menjatuhkan seseorang yang telah berbuat tidak adil terhadap kehidupan para petani desa di pengadilan dan lanjut secara internasional.

Saman hanya bisa dinikmati dan berguna sejati hanya bagi pembaca yang dewasa. Bahkan amat sangat dewasa, seperti yang dikatakan Y.B. Mangunwijaya yang mengomentari Novel ini. Menurut Mangunwijaya, hanya orang dewasalah yang dapat memahami apa yang ingin disampaikan Ayu Utami, khususnya mengenai dimensi-dimensi politik, antropologi sosial, dan yang paling istimewa adalah agama dan iman.

Ayu juga mengeksplorasi mengenai hubungan badan dengan sangat gamblang, banyak kosakata vulgar tentang seks yang tidak bisa dibaca oleh remaja maupun anak di bawah umur. Oleh sebabnya, Saman hanya bisa dibaca oleh orang dewasa, tidak bisa dikonsumsi oleh semua kalangan. Saman menggunakan alur campuran, sehingga untuk pembaca pemula akan merasakan kesulitan ketika mencoba mengikuti alur dan memahami apa yang Ayu maksud.

Sebenarnya banyaknya Kontroversi yang ada justru membuat Saman masuk dalam kategori Novel yang diburu, namun Resensator memasukan Kontroversi tersebut ke dalam kelemahan Novel Saman karena satu hal, Kontroversi mengenai imanlah yang perlu dikaji kembali. 

Ayu membuat Wis yang dulunya seorang Pastor beralih menjadi seorang Aktivis Hak Asasi Manusia, Wis meninggalkan Kepastoran dan berpikiran bahwa ternyata Tuhan itu tidak ada. Padahal ide tentang Tuhan sebenarnya selalu ada di tiap pikiran manusia. Hanya tinggal manusianya saja yang mau mempercaiyanya atau tidak. Ayu membuat ide tersebut lenyap, dengan keluarnya Wis dari Kepastoran dan perubahan sifat Wis di bagian akhir cerita.

***

Artikel ini ditulis oleh : Ayuni Kurnia Wulandari

Komentar

Populer

Analisis Puisi “ IBU” Karya D. Zawawi Imron

  “ IBU” Karya D. Zawawi Imron   Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting Hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir Bila aku merantau Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar Ibu adalah gua pertapaanku Dan ibulah yang meletakkan aku di sini Saat bunga kembang menyerbak bau sayang Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi Aku mengangguk meskipun kurang mengerti Bila kasihmu ibarat samudera Sempit lautan teduh Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh Lokan-lokan, mutiara dan kembaang laut semua bagiku Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu Lantaran aku tahu Engkau ibu dan aku anakmu Bilaa berlayar lalu datang angin sakal Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ANALISIS PUISI WS RENDRA 'Orang-orang miskin'

  Orang-Orang Miskin karya : WS Rendra Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya. Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan. Bila kamu remehkan mereka, di jalan  kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan, dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Jangan kamu bilang negara ini kaya karena orang-orang berkembang di kota dan di desa. Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. Dan perlu diusulkan agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa. Orang-orang miskin di jalan masuk ke dalam tidur mala

Tentangku dan Rasa

Source pic by : pinterest Dulu aku sempat berpikir jika manusia memang terlahir dengan kesempurnaan mereka masing-masing. Namun pada akhirnya aku menyadari, jika tidak ada satu orang pun yang memiliki kesempurnaan sedetil-detilnya. Jika memikirkan kita terlahir sempurna itu termasuk pelanggaran ketaqwaan kepada sang pencipta. Maka berlagak seolah kita sempurna adalah pelanggaran terbesarnya. Maka dari itulah, kehidupan ku yang porak poranda. Jiwaku yang terkekang, dan hatiku yang lama mati rasa, adalah bentuk dari ketidak sempurnaan yang di berikan oleh-Nya. Rasanya berat berbagi serpihan kisah ini, dan menuangkan kisahnya dalam bentuk tulisan. Namun, ku kuatkan tekadku untuk menceritakannya. Karena bagiku, ini bukanlah kisah dramastis ala bollywood maupun drama korea yang penuh dengan fantasi. Kisah ini, ku tuangkan penuh ketulusan, dan rasa syukur karena ku harap dapat menginspirasi semua orang. Aku bukanlah gadis periang yang acuh terhadap semua cobaan, aku kera

Analisis Intertekstual Puisi ‘Malin Kundang ’ Karya Joko Pinurbo

  MALIN KUNDANG Puisi Joko Pinurbo Malin Kundang pulang menemui ibunya yang terbaring sakit di ranjang. Ia perempuan renta, hidupnya tinggal menunggu matahari angslup ke cakrawala.   “Malin, mana istrimu?” “Jangankan istri, Bu. Baju satu saja robek di badan.” Perempuan yang sudah tak tahan merindu itu seakan tak percaya. Ia menyelidik penuh curiga.   “Benar engkau Malin?” “Benar, saya Malin. Lihat bekas luka di keningku.” “Tapi Malin bukanlah anak yang kurus kering dan compang-camping. Orang-orang telah memberi kabar bahwa Malin, anakku, akan datang dengan istri yang bagus dan pangkat yang besar.” “Mungkin yang Ibu maksud Maling, bukan Malin.” “Jangan bercanda, mimpiku telah sirna.”   Walau sakit, perempuan itu memberanikan diri bertanya: “Ke mana saja engkau selama ini?” “Mencari ayah di Jakarta.” Lalu kata ibu itu: “Ayahmu pernah pulang dan aku telah sukses mengusirnya.”   “Benar engkau Malin?” Ibu itu masih juga sangsi. Dan ana

Boneka 1

    14 Juni 2006. Hari ulang tahunku yang ke-5, Ibu diam-diam memberiku boneka berbentuk hati berwarna merah, dan meletakkan di tepi ranjangku. Aku senang, sampai sekarang boneka itu masih bertengger manis di ranjangku.      14 Juni 2007. Hari ulang tahunku yang ke-6, Ayah mengajakku pergi ke plaza, tanpa Ibu, hanya ada aku dan adikku. Aku senang, karena setelah satu tahun aku akhirnya bertemu Ayah, dia mengingat hari ulang tahunku, dan memberiku boneka anjing dan domba.     14 Juni 2008. Tidak ada lagi yang memberiku boneka.  Mungkin kamarku sudah penuh boneka, jadi boneka tidak diperlukan lagi.      14 Juni 2009. Tidak ada lagi laki-laki itu...kemana hilangnya?  Lagi-lagi aku hanya bisa bilang "entah"     14 Juni 2010. Aku diperkenalkan dengan orang asing, yang harus ku sebut dengan sebutan "Ayah" Baiklah.      14 Juni 2011. Ibuku seperti orang asing. Aku tidak begitu dekat  dengannya. Bahkan saat didekatnya, hanya ada rasa takut menjalariku.