Langsung ke konten utama

Diary Orang Awam


Saya mencoba menuliskan isi hati saya kali ini, saya tidak tau apa yang akan pembaca pikirkan ini, tapi saya yakin. Dari sekian banyak orang, ada salah satu atau beberapa yang memiliki pemikiran seperti ini. Saya tidak butuh orang untuk medengarkan, karena akan canggung jika saya bercerita secara langsung. Baik Saya akan memulainya~

Jujur saja, kebanyakan Hasrat saya sama seperti remaja kebanyakan. Ingin mencari lebih tentang makna hidup, jati diri, dan terutama lagi tentang apa itu makna cinta yang sebenarnya? Karena Baru-baru ini, Ibuku sedikit menyinggung sesuatu, beliau mengatakan saya sudah bukan lagi anak-anak. Saya diberi kebebasan menyukai siapapun yang saya mau. Jadi, apa masalahnya? 

Saya sedikit bingung dengan pembahasan ini, jujur saja, selama saya hidup saya, persoalan suka, cinta dan kawan-kawannya masih saya kategorikan konten sensitif. Saya tidak pernah menceritakan hal itu pada Ibu saya, karena saya masih menganggap  itu tidak penting. Sangat tidak penting. Sangat merusak karir, dan saya merasa bangga karena mendahulukan masa depan. Apakah pemikiran saya ini benar? 

  Tapi  saya masih tidak menyangka hal itu keluar dari mulut Ibu saya yang begitu ketat terhadap saya sebelumnya. Hal tersebut menyadarkan saya. Saya sudah bukan anak kecil lagi yang hanya tau ledek meledek, tidak ada kata serius dalam kamus dan segala hal dianggap lelucon. Bahkan persoalan seperti ini dianggap tabu.  Tapi bagaimana? Sekarang saya sudah terlanjur asyik dengan dunia saya sendiri, jadi ada benteng-benteng kokoh yang sudah saya bangun dan saya lupa bagaimana merobohkannya?

Baiklah, lupakan soal Ibuku sejenak. Mari, saya akan mengajak kalian memasuki sudut pandang saya.

Seperti yang saya bilang diatas, saya masih mencari tau, siapa diri saya. Terkadang, timbulah pertanyaan-pertanyaan nyeleneh dalam otak saya, sebenarnya saya itu siapa? Bagaimana jadinya kalau saya tidak lahir di keluarga saya sekarang, apa saya akan tetap menjadi saya? Saya orang yang seperti apa? Ada banyak sekali hal nyeleneh dalam otak saya. Jadi, apa kaitannya hal itu dengan pernyataan Ibu saya?

    Seperti yang saya bilang, otak saya dipenuhi pertanyaan nyeleneh. Lalu, timbulah tanda tanya besar. apa saya pernah menyukai seseorang? Apa memikirkan orang itu termasuk dalam golongan menyukai? Jadi, ada berapa banyak orang yang sukai di dunia ini? saya memikirkan sahabat saya semalaman karena paginya kami bertengkar, saya memikirkan orang yang sekedar lewat karena pakaiannya yang aneh, saya memikirkan karakter novel yang saya baca, saya memikirkan actor yang menurut saya tampan. Apa itu termasuk golongan menyukai seseorang? Atau, ada ciri-ciri lain yang lebih spesifik? Saat bertemu saya merasa deg-degan, saya ingin dekat dengan dia? Apa seperti itu?

    Sepertinya, saya pernah mengalaminya, tapi saya tidak tau kalau itu rasa suka, yang saya tau, saya hanya penasaran saja padanya. Karena setelah tau karakternya seperti apa, saya mulai menjauh. Jadi, apa itu bisa digolongkan rasa suka, atau hanya pembenaran saya saja, yang menyangkal kalau sebenarnya saya menyukai dia tapi saya tidak mau menerima sifatnya? 

Lalu, pertanyaan lain yang muncul, Ini bukan hal yang penting sekali untuk dipikirkan. Tapi jujur saja, melihat realita sekarang, cinta menjadi bagian yang mendominasi masyarakat, makanya sekarang tumbuh istilah “bucin”. Karena hal itulah, cinta menjadi perbincangan yang sepele sekarang ini. Padahal, jika istilah “bucin” bukan lambang sebenarnya dari cinta. Sekarang, cinta dan pansos beda tipis. Miris. Karena itu, mereka yang benar-benar mencintai dengan tulus dipatahkan dengan adanya istilah ini, jadi saya tidak yakin, apa di jaman ini, ada orang yang benar-benar mengerti soal cinta?, yang saya bicarakan bukan hanya cinta kepada pasangan, tapi cinta secara keseluruhan.

    Jika saya menengok masa lalu, saya tidak benar-benar mengerti. Seperti apa rasanya mencintai seseorang? Mereka yang hari ini mengatakan saling mencintai, besoknya mereka putus. Mereka yang mengatakan akan selamanya saling mencintai, besoknya mereka mengatakan hal itu kepada lain orang. Apa itu masih digolongkan cinta? Jadi, benar yang saya pikirkan, cinta sudah kalah oleh nafsu. Karena cinta masih punya rasa malu, tapi nafsu tidak punya rasa malu. Mereka yang tidak punya rasa malu, janganlah disebut sebagai ‘budak cinta’ tapi sebut saja ‘budak nafsu’.

Karena itu, saya benar-benar bertanya pada diri saya sendiri, Apakah saya pernah mencintai seseorang? Jawabannya belum. Bahkan terhadap keluarga saya, saya belum bisa mencintai mereka dengan hati yang iklas. Masih ada serpihan masa lalu yang terkadang membuat saya membenci mereka.   Jika, saya sendiri belum bisa menerima masa lalu orang-orang yang sudah membesarkan saya, bagaimana saya bisa menerima masa lalu orang lain yang baru saja datang dalam hidup saya? Maka dari itu, saya sedang menemukan, arti dari melepaskan rasa sakit yang sebenarnya.

Bagaimana saya bisa menyukai bahkan mencintai seseorang kalau saya sendiri tidak tau apa yang pantas dicintai dari diri saya? Maka dari itu, saya ingin tau. Saya orang yang seperti apa? Saya ingin menemukan jawaban saya sendiri sebelum saya membawa orang lain masuk dalam kehidupan saya. Yang saya takutkan, saya yang belum menemukan diri saya sendiri, malah menyalahkan orang lain karena mereka tidak sesuai dengan ekspetasi saya. Saya menyadari, terkadang kepercayaan saya justru melukai saya sendiri, oleh karena itu, terlebih dulu. Saya harus menemukan diri saya dalam cermin realita. Karena sekarang pun, saya masih bingung. Apakah pemikiran saya bisa disebut kebenaran atau pembenaran?


Jadi apa kalian menangkap maksud dari tulisan saya? Mohon dimaklumi, tulisan ini ditulis oleh orang awam untuk menghabiskan waktunya. Sampai jumpa. Terima kasih sudah membaca~



***


By. Ayuni Kurnia W.


Komentar

Populer

Analisis Puisi “ IBU” Karya D. Zawawi Imron

  “ IBU” Karya D. Zawawi Imron   Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting Hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir Bila aku merantau Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar Ibu adalah gua pertapaanku Dan ibulah yang meletakkan aku di sini Saat bunga kembang menyerbak bau sayang Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi Aku mengangguk meskipun kurang mengerti Bila kasihmu ibarat samudera Sempit lautan teduh Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh Lokan-lokan, mutiara dan kembaang laut semua bagiku Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu Lantaran aku tahu Engkau ibu dan aku anakmu Bilaa berlayar lalu datang angin sakal Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ANALISIS PUISI WS RENDRA 'Orang-orang miskin'

  Orang-Orang Miskin karya : WS Rendra Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya. Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan. Bila kamu remehkan mereka, di jalan  kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan, dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Jangan kamu bilang negara ini kaya karena orang-orang berkembang di kota dan di desa. Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. Dan perlu diusulkan agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa. Orang-orang miskin di jalan masuk ke dalam tidur mala

Tentangku dan Rasa

Source pic by : pinterest Dulu aku sempat berpikir jika manusia memang terlahir dengan kesempurnaan mereka masing-masing. Namun pada akhirnya aku menyadari, jika tidak ada satu orang pun yang memiliki kesempurnaan sedetil-detilnya. Jika memikirkan kita terlahir sempurna itu termasuk pelanggaran ketaqwaan kepada sang pencipta. Maka berlagak seolah kita sempurna adalah pelanggaran terbesarnya. Maka dari itulah, kehidupan ku yang porak poranda. Jiwaku yang terkekang, dan hatiku yang lama mati rasa, adalah bentuk dari ketidak sempurnaan yang di berikan oleh-Nya. Rasanya berat berbagi serpihan kisah ini, dan menuangkan kisahnya dalam bentuk tulisan. Namun, ku kuatkan tekadku untuk menceritakannya. Karena bagiku, ini bukanlah kisah dramastis ala bollywood maupun drama korea yang penuh dengan fantasi. Kisah ini, ku tuangkan penuh ketulusan, dan rasa syukur karena ku harap dapat menginspirasi semua orang. Aku bukanlah gadis periang yang acuh terhadap semua cobaan, aku kera

Analisis Intertekstual Puisi ‘Malin Kundang ’ Karya Joko Pinurbo

  MALIN KUNDANG Puisi Joko Pinurbo Malin Kundang pulang menemui ibunya yang terbaring sakit di ranjang. Ia perempuan renta, hidupnya tinggal menunggu matahari angslup ke cakrawala.   “Malin, mana istrimu?” “Jangankan istri, Bu. Baju satu saja robek di badan.” Perempuan yang sudah tak tahan merindu itu seakan tak percaya. Ia menyelidik penuh curiga.   “Benar engkau Malin?” “Benar, saya Malin. Lihat bekas luka di keningku.” “Tapi Malin bukanlah anak yang kurus kering dan compang-camping. Orang-orang telah memberi kabar bahwa Malin, anakku, akan datang dengan istri yang bagus dan pangkat yang besar.” “Mungkin yang Ibu maksud Maling, bukan Malin.” “Jangan bercanda, mimpiku telah sirna.”   Walau sakit, perempuan itu memberanikan diri bertanya: “Ke mana saja engkau selama ini?” “Mencari ayah di Jakarta.” Lalu kata ibu itu: “Ayahmu pernah pulang dan aku telah sukses mengusirnya.”   “Benar engkau Malin?” Ibu itu masih juga sangsi. Dan ana

Boneka 1

    14 Juni 2006. Hari ulang tahunku yang ke-5, Ibu diam-diam memberiku boneka berbentuk hati berwarna merah, dan meletakkan di tepi ranjangku. Aku senang, sampai sekarang boneka itu masih bertengger manis di ranjangku.      14 Juni 2007. Hari ulang tahunku yang ke-6, Ayah mengajakku pergi ke plaza, tanpa Ibu, hanya ada aku dan adikku. Aku senang, karena setelah satu tahun aku akhirnya bertemu Ayah, dia mengingat hari ulang tahunku, dan memberiku boneka anjing dan domba.     14 Juni 2008. Tidak ada lagi yang memberiku boneka.  Mungkin kamarku sudah penuh boneka, jadi boneka tidak diperlukan lagi.      14 Juni 2009. Tidak ada lagi laki-laki itu...kemana hilangnya?  Lagi-lagi aku hanya bisa bilang "entah"     14 Juni 2010. Aku diperkenalkan dengan orang asing, yang harus ku sebut dengan sebutan "Ayah" Baiklah.      14 Juni 2011. Ibuku seperti orang asing. Aku tidak begitu dekat  dengannya. Bahkan saat didekatnya, hanya ada rasa takut menjalariku.