Vampir
Karya Intan Paramaditha
Bacalah ia
dari belakang dan kau akan menemukan aku.
Kami datang
dari tempat yang sama, sempit, gelap, basah, merah. Tapi ia tak menginginkanku
karena ia kira aku menyusu ibu serigala.
Sebenarnya
dulu aku tak pernah bercita-cita menjadi sekretaris. Jika ditanya apa
cita-citaku semasa kecil, aku selalu mengatakan ingin jadi dokter, seperti juga
ribuan anak kecil lainnya. Tapi saat aku tumbuh dewasa, ibuku mengamati sifatku
yang rajin dan serba teratur. Aku suka membuat daftar pelajaran, anggaran uang
jajan, atau daftar belanja. Aku tergila-gila pada pengelompokan. Di kamarku ada
kotak-kotak khusus untuk kaset dengan aliran musik berbeda. Aku bahkan tahu
baju apa yang akan kupakai hari Jumat dua minggu mendatang. Kata Ibu, “Kau
lebih cocok jadi sekretaris ketimbang dokter.”
Selepas
sekolah menengah aku pun masuk Akademi Sekretaris. Separuh alasanku adalah
ingin memaksimalkan potensiku, separuhnya lagi adalah karena untuk menjadi
dokter aku harus menyukai biologi, sedangkan satu-satunya yang kusukai dari
pelajaran itu adalah klasifikasi tumbuhan dan binatang. Lagi-lagi pengelompokan
dan keteraturan. Pada akhirnya kusadari pilihanku belajar di Akademi Sekretaris
tidak salah karena aku lulus dengan nilai-nilai gemilang.
Aku hidup di
gua-gua pekat malam, terselimuti kabut abu-abu, tak kenal pagi dan embun. Aku
tak berani menantang cahaya karena aku tak seperti kalian semua. Aku terobsesi
merah. Merah yang tergenang menganak sungai beraroma ikan segar.
Aku haus
darah.
Aku kupu-kupu
hitam bersayap beludru, terbang ke dalam lorong-lorong dan terseret dengan
pusaran malam. Ia tak tahu penderitaanku, eranganku, gairahku. Ia menutup semua
jendela untuk mengusirku yang terseok kehausan.
Kini aku
bekerja di sebuah perusahaan jasa konsultan. Aku selalu menyetrika jas kerja
dan rokku licin-licin agar terlihat serasi dengan sejuknya lantai mahogani
kantorku dan dindingnya yang bernuansa cokelat susu. Cokelat adalah warna
klasik yang selalu terlihat elegan. Ingin terlihat lebih profesional? Pakailah
cokelat atau hitam. Lucu, dulu kupikir warna gelap hanya untuk kekuatan jahat
dan warna terang untuk kebaikan.
Kadang aku
mencari tikus atau anjing atau apa saja. Aku terlalu lemah untuk membuka mata.
Tak bisa bertahan, aku begitu haus. Ah, andai aku bisa menukar jiwaku dengan
Darah!
Jabatanku di
sini adalah sekretaris manajer pemasaran. Meja kerjaku tertata rapi tepat di
luar ruangan bosku. Namanya Irwan. Ia muda, tampan, kaya, cerdas. Tentu saja
ada satu kelemahannya: beristri. Baginya ini kelemahan karena ia harus
mati-matian menutupi hubungannya dengan beberapa perempuan (setidaknya begitu
yang kudengar di hari pertamaku bekerja). Bagiku ini juga kelemahan karena aku
harus berusaha menjaga jarak mengingat intensitas interaksiku setiap hari
dengannya yang mungkin bisa menjerumuskan. Aku pernah mendengar tentang
perilaku seks di dunia kerja, tapi aku tidak pernah berselera melanggar kode
etik dan norma-norma.
Irwan
terlahir dari keluarga kaya dan ini membuatku memaklumi sikapnya yang senang
bermain-main dengan kekuasaan. Ia sering memberiku tugas di luar yang
seharusnya, seperti memintaku membuat surat-surat permohonan untuk proyek
sampingannya di luar kantor. Pernah pula aku keluar kantor hanya untuk membayar
tagihan-tagihan kartu kreditnya. Aku tahu aku berhak protes, tapi untuk
sementara ini aku memilih diam sambil mengevaluasi sejauh mana ia bersikap
tidak profesional.
“Ada acara
sesudah jam kantor?”
Aku mengangkat
kepalaku. Hari itu Irwan memakai dasi merah yang menyembul dari balik jas hitam
konservatifnya. Ada yang sangat salah dengan dasi itu. Mungkin warnanya yang
kelewat terang, sungguh tidak cocok dengan atmosfer kerja yang penuh
warna-warna dingin.
Merah berhawa
panas. Merah kadang menggumpal lengket dan tersangkut seperti permen karet.
Merah menuntut pengakuan, peng-aku-an, tak bisa menunda, tak bisa luruh di
saluran pembuangan.
“Saras?”
Aku
menggeleng.
“Kalau begitu
temani saya minum kopi.”
Jika bekerja
untuk seseorang, kita akan terbiasa dengan kalimat imperatif.
Aku pun
berusaha menerka makna lain di balik minum kopi. Yang ia maksud tentunya berada
di ruangan ber-AC sambil menikmati kopi tak berampas dalam cangkir, bukan minum
segelas kopi tubruk di warung. Yang ia maksud tentunya berada di kelas
tertentu, dengan tujuan tertentu, menjalin relasi atau networking mungkin.
Menarik sekali untuk perkembangan karierku, tapi mari kutegaskan lagi kalau aku
tidak tertarik memperdalam relasi dengan laki-laki beristri.
Munafik.
Apakah ada
konsekuensi logis jika aku menolak?
Ia
menginginkan lelaki itu, tapi tak mau jadi orang pertama yang disalahkan.
“Dirut minta
laporan khusus yang harus selesai besok,” katanya. “Ini pekerjaan ekstra buat
saya, jadi saya harap kamu bisa membantu.”
Irwan seperti
membaca keraguanku dan mencoba menekankan bahwa ajakannya bersifat rasional dan
profesional, bukan sensual ataupun seksual. Setelah menimbang-nimbang,
kuputuskan untuk pergi bersamanya.
Ah! Ah! Aku
saudara yang berbagi hangat denganmu di tempat merah sempit itu. Aku tahu di
sekolah menengah kau membaca buku porno murahan tentang sekretaris yang masuk
ke ruangan bosnya tanpa celana dalam. Kau perempuan murah rekah
Ayo marah!
Tidakkah kau impikan semua kebinatangan di balik rokmu yang beradab?
Maka,
pergilah kami ke sebuah kafe yang memutar musik jazz tahun 50-an. Bernaung
cahaya redup, kami duduk di sofa beludru merah yang begitu besar sehingga aku
merasa bisa tenggelam di dalamnya. Jika tak ada kopi, mungkin aku akan mengantuk.
Mengapa Irwan memilih tempat seperti ini untuk membicarakan proyek kantor?
Rumah bordil—
Kupu-kupu
seperti aku memang senang remang-remang, bayang-bayang, halusinasi. Rumah
meriah di dalam hutan segala serigala. Kau tak akan tahu apa pun sebelum masuk
ke dalam.
Kami
berbincang selama dua jam, espresso berganti capuccino. Setengah jam ia
membahas laporan khususnya. Ella Fitzgerald masih merayu dengan suara emasnya,
tapi aku menyimak dan mencatat seperti layaknya sekretaris profesional. Lantas
kudengar ia bertanya,
“Kamu masih
tinggal dengan orangtuamu?”
Aku tertegun,
lalu kukatakan aku tinggal sendirian. Orangtuaku berada di luar kota dan aku
anak tunggal. Ia bercerita bahwa ia juga begitu.
Kemudian
dimulailah ritual yang berbahaya itu: cerita klise tentang perkawinan yang
tidak bahagia. Bahwa istrinya sibuk mengejar ambisinya sendiri, bahwa tak ada
anak yang mengikat kedekatan mereka.
Aku harus
mengakhiri semua ini. Ia tengah mencari mangsa.
Aku juga.
Adakah yang rela menyerahkan jiwa?
“Aku harus
kembali ke rumah,” aku memutuskan.
Hari belum
terlalu malam, tapi Irwan ingin mengantarku pulang. Kukatakan tidak perlu, tapi
ia memaksa.
Oke, sampai
di luar pagar.
Laki-laki itu
tahu kau tinggal sendirian.
Kau dan aku
memang makhluk-makhluk kesepian. Aku si pengisap penyedot kehidupan yang
sekarat karena merah sudah nyaris habis punah berhenti titik.
Ia bertanya
padaku apakah ia bisa ke kamar mandi. Jadi, aku biarkan ia masuk.
Masuklah,
masuklah ke dalam pagar wahai para pencuri. Mari berlompat-lompatan, jangan
mengendap-endap. Lihat apa yang bisa kau cicipi di kebun buah. Aku ikut karena
aku juga pencuri, pencuri hidup dan mati, dan ’kan kujadikan kau
hantu.
Lalu ia duduk
di kursi rotan konvensionalku, minum segelas air putih. Dibukanya satu kancing
kemejanya dan dilonggarkannya dasinya — dasi yang benar-benar salah.
Lihatlah
leher laki-laki itu. Sukakah kau pada es krim vanila? Kecap kebekuannya dengan
lidahmu dan ia akan lumer dalam mulut.
Aku
mendengarnya memanggil namaku. Ia seperti bergumam, tapi aku menangkap
kata-kata terakhirnya,
“Sebetulnya
kita sudah saling tahu apa yang terjadi.”
Aku gemetar.
Tiba-tiba kusadari ketakutan terbesarku terjadi. Aku pernah membayangkannya dan
karena aku sangat profesional aku tahu aku harus mendorongnya dengan tegas,
mengusirnya bila perlu.
Tapi aku
merasa ia semakin mendekatkan tubuhnya padaku. Aku bisa mencium minyak wangi
bercampur aroma rokok yang menempel di rambutnya yang tercukur rapi. Aku
seperti—
Tersedot?
Di pucuk es
krim ada ceri bulat mengilat. Buah menggoda, menantang bahaya. Akankah aku
jatuh? Tapi aku begitu menginginkannya. Aku si pengisap penyedot kehidupan.
Lehernya
begitu indah. Dan aku begitu haus
Darah.
Jam 6.30
pagi. Ponsel berbunyi.
“Halo,
Saras?” suara wanita di ujung sana. “Jangan lupa nanti ingatkan bosmu untuk
rapat dengan klien jam 11. Ini berarti semua materi presentasi harus sudah
siap. Dia sudah memintamu menyiapkannya, ’kan?”
“Ia tidak
pergi kerja hari ini.”
Bacalah ia
dari belakang dan kau akan menemukan aku.
Jakarta, Juni
2004
1.
Pendahuluan
Menurut Teew (Rokhmasyah,
2010) menyebutkan bahwa “ pendekatan truktural mencoba menguraikan keterkaitan
dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang
bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh. Kemudian diperjelas lagi oleh Abidin (2018:25) yang menyebutkan
bahwa apabila yang diteliti itu karya sastra prosa, maka yang harus dikaji dan
diteliti itu adalah aspek membangun karya sastra itu, seperti, tema, alur,
latar, penokohan, gaya penulisan, sudut pandang, dan lain-lain. Kaum
strukturalisme memandang bahwa karya sastra bersifat otonom dan memiliki bentuk
yang terdiri atas unsur-unsur yang mempunyai fungsi, tersusun secara berkaitan
dan terpadu serta utuh mendukung keseluruhan karya sastra. Oleh sebab itu,
analisis struktural dalam sebuah karya sastra perlu dikaji secara mendalam agar
memudahkan pembaca dalam memahami isi dari suatu karya, tidak hanya sebatas
tahu saja, namun mendalami secara kompleks struktur karya tersebut.
2.
Struktur
dalam Cerpen Vampir-Intan Paramadhita
Sesuai yang telah dijelaskan dalam pendahuluan terkait
pengertian strukturalisme oleh Abidin (2018:25) yang menyebutkan bahwa apabila
yang diteliti itu karya sastra prosa, maka yang harus dikaji dan diteliti itu
adalah aspek membangun karya sastra itu, seperti, tema, alur, latar, penokohan,
gaya penulisan, sudut pandang, dan lain-lain. Namun dalam buku teori fiksi
karya Robert Stanton struktur karya fiksi dijelaskan lebih kompleks lagi.
Cerpen Vampir-karya Intan Paramadhita dalam buku teori Robert Stanton merupakan
golongan fiksi serius, mengapa demikian, dikarenakan fiksi serius memerlukan
‘pembacaan kembali’ karena di dalam karya tersebut tersembunyi banyak makna
yang tidak bisa dipahami hanya sekali baca. Sehingga perlu kecermatan dan
pemahaman sedikit demi sedikit. Berikut analisis strutural dalam cerpen Vampir
karya Intan Paramadhita.
2.1. Fakta-fakta Cerita
Struktur faktual bukanlah bagian terpisah
dari sebuah cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita yang
disorot dari satu sudut pandang. Tidak seharusnya menghakimi sebuah cerita
dengan mengatasinya tidak realistis hanya karena situasi – situasi karakter –
karakter,dan latar – latarnya tidak ‘tipikal’ atau tidak ‘seperti
kebanyakan’.Realitas dijejali berbagai hal – hal aneh, sifat ‘umum’ hanyalah
generalisasi saja. Adapun bagian dari Fakta-fakta cerita di antaranya adalah
karakter, alur dan latar. Berikut penjelasannya.
2.1.1.
Karakter
Karakter atau yang biasa disebut
dengan tokoh-penokohan biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama,
karakter merujuk pada individu – individu yang muncul dalam cerita seperti
ketika ada orang yang bertanya; “Berapa karakter yang ada dalam cerita
itu?”. Konteks kedua, karakter merujuk
pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral
dari individu – individu tersebut seperti yang tampak implisit pada
pertanyaan;” menurutmu,bagaimanakah karakter dalam cerita itu?” Dalam sebagian
besar cerita dapat ditemukan satu ‘karakter utama’ yaitu karakter yang terkait
dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita.
Penokohan
dalam cerita ada tiga macam, yaitu tokoh protagonist, antagonis, dan
tritagonis. Tokoh protagonis yaitu tokoh utama yang memiliki karakter baik,
disukai, dan diidolakan pembaca atau pendengaran. Tokoh antagonis yaitu tokoh
yang memiliki perwatakan atau karakter tidak baik, jahat, dan dibenci pembaca
dan pendengarnya. Tokoh tritagonis yaitu tokoh pembantu yang bersifat netral
dan penengah, baik bagi tokoh antagonis maupun protagonis. Terkadang pengarang
dengan sengaja menyisipkan sifat, perilaku dan nilai moral pada tokoh rekaan
biasannya disebut dengan metode karakterisasi atau penokohan. Pada umumnya
teknik karakterisasi atau penokohan yang disesuaikan dengan peranan tokoh
tersebut, misalkan pengkarakteristikan terhadap tokoh protagonist dan penokohan
terhadap tokoh antagonis.
Melalui metode karakterisasi atau
penokohan, pengarang dapat menggambarkan sifat dan perilaku para tokoh agar
pembaca dapat memahami karakter dari setiap tokoh yang dihadirkan dalam suatu
karya sastra. Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam karya sastra
dapat dibedakan menjadi dua teknik yaitu teknik ragaan dan pelukisan secara
langsung atau analitis (Telling) dan
teknik ragam atau teknik pelukisan secara tidak langsung atau juga sering
disebut teknik dramatik (Showing). Ada
beberapa tokoh yang diperankan dalam cerpen Vampir, sebagai berikut.
2.1.1.1. Saras
Saras dalam cerpen Vampir adalah
tokoh utama. Namun kepribadian Saras tidak bisa dilihat dari sudut pandang
protagonis maupun antagonis, karena hal tersebut tergantung pada presepsi
pembaca, apakah tokoh Saras ini protagonis atau antagonis? Tetapi dapat dilihat dalam cerpen
tersebut bahwa Saras memiliki sifat yang pintar
pekerja keras, baik hati, profesional dan selalu patuh pada atasannya. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan Pada
akhirnya kusadari pilihanku belajar di Akademi Sekretaris tidak salah karena
aku lulus dengan nilai-nilai gemilang. kutipan tersebut membuktikan jika Saras tokoh yang
pintar, dia mampu meraih nilai-nilai gemilang.
Kemudian kutipan lain Kini aku bekerja di sebuah perusahaan jasa konsultan. Aku selalu
menyetrika jas kerja dan rokku licin-licin agar terlihat serasi dengan sejuknya
lantai mahogani kantorku dan dindingnya yang bernuansa cokelat susu. Cokelat
adalah warna klasik yang selalu terlihat elegan. Ingin terlihat lebih
profesional? Pakailah cokelat atau hitam. Lucu, dulu kupikir warna gelap hanya
untuk kekuatan jahat dan warna terang untuk kebaikan.
Menunujukkan
jika tokoh Saras profesional dan mengutamakan penampilannya. Dan dia selalu
patuh pada atasannya, terbukti pada kutipan Ia
sering memberiku tugas di luar yang seharusnya, seperti memintaku membuat
surat-surat permohonan untuk proyek sampingannya di luar kantor. Pernah pula
aku keluar kantor hanya untuk membayar tagihan-tagihan kartu kreditnya. Aku
tahu aku berhak protes, tapi untuk sementara ini aku memilih diam sambil
mengevaluasi sejauh mana ia bersikap tidak profesional.
Namun
sangat disayangkan jika tokoh Saras ini juga memiliki kelemahan yakni mudah
terpengaruh atau terhasut, hal tersebut dibuktikan ketika atasannya Irwan
sengaja mengajaknya lembur padahal dalam maksud lain, tokoh Saras mau
menyanggupi dan justru melayaninya.
2.1.1.2. Vampir
Vampir merupakan sosok lain dari
tokoh utama, dan vampir ini memiliki watak Vampir memiliki sisi gelap, yang
haus darah, namun rapuh karena selalu di diskriminasi. Dia memiliki watak yang
ambisius, seperti dalam kutipan Aku hidup di gua-gua pekat malam, terselimuti
kabut abu-abu, tak kenal pagi dan embun. Aku tak berani menantang cahaya karena
aku tak seperti kalian semua. Aku terobsesi merah. Merah yang tergenang
menganak sungai beraroma ikan segar. Aku haus darah.
Kami datang dari tempat yang sama,
sempit, gelap, basah, merah. Tapi ia tak menginginkanku karena ia kira aku
menyusu ibu serigala. Dalam
kutipan tersebut juga membuktikan jika Vampir merupakan sosok yang rapuh dan
kesepian.
2.1.1.3. Irwan
Irwan merupakan tokoh pendukung dalam cerpen tersebut-dan
bisa dibilang sebagai tokoh antagonis, dikarenakan sosok Irwan yang tidak
profesional, sewenang-wenang atau suka menyalahgunakan kekuasaan, dan tidak
setia. Seperti pada kutipan Irwan
terlahir dari keluarga kaya dan ini membuatku memaklumi sikapnya yang senang
bermain-main dengan kekuasaan.
2.2.1. Plot atau Alur
Secara umum, alur merupakan
rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya
terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kasual saja. Peristiwa kasual
merupakan peristiwa yang menyebabkan atau mejadi dampak dari berbagai peristiwa
lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan
karya. (Staton, 2001:26).
Peristiwa sendiri merupakan perpindahan satu kadaan ke keadaan lain. dengan
adanya alur dapat memuculkan berbagai macam peristiwa. Alur juga memiliki
struktur yaitu awal tengah akhir. Dua elemen yang membangun alur adalah
‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki ‘konflik
internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau
hasrat seorang karakter dengan lingkungannya.
Cerpen vampir
karya intan ini memiliki plot
maju, dimana Cerpen ini
menceritakan tentang seorang perempuan bernama Saras yang berusaha mengejar
masa depannya, namun dia malah bekerja sebagai sekretaris menajer pemasaran
bernama Irwan. Namun, Irwan sering bersikap tidak profesional dengan
menyuruhnya melakukan hal-hal di luar pekerjaan. Salah satunya meminta Saras
menemaninya minum kopi malam itu. dan malam itu yang ditakutkan Saras pun
terjadi, dia tidak bisa mengendalikan dirinya.
Cerpen ini menggambarkan posisi perempuan
yang merasa tertindas oleh kekuasaan dan diskriminasi minoritas, seperti yang
di rasakan dalam sudut pandang si vampir. Saras dan Vampir sama-sama tertekan
oleh keadaan, vampir juga menggambarkan hasrat terpendam perempuan dan sisi
gelap darri perempuan. Yang menarik cerpen ini membuat pembaca bertanya, apakah
dengan kekuasaan bisa mengatur bawahannya hingga seperti itu? dan apakah
perempuan bisa dikendalikan dengan mudah oleh kekuasaan?
2.1.3.
Latar
Latar
adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang
berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar juga
dapat berwujud waktu. (Stanton, 2007:35). Latar dibagi mejadi tiga macam yaitu
latar tempat, waktu dan sosial atau suasana. Latar tempat yaitu dimana
peristiwa itu terjadi misalnya di kamar, di sekolah, dan sebagainya. Latar
waktu adalah kapan peristiwa itu terjadi misalya di siang hari. Latar sosial
atau suasana yaitu keadaan yang sedang terjadi yang berhubungan dengan peritiwa
sosial misalnya suasana mencekam. Latar merupakan salah satu struktur yang
sangat penting, suatu karya pasti memiliki latar yang berbeda-beda tergantung
peristiwa.
Latar dalam
cerpen ini adalah sebagai berikut, Latar Ruang dalam cerpen tersebut terjadi ddi sebuah perusahaan dan juga di
rumah Sarah. Seperti dalam kutipan, Jabatanku di sini adalah sekretaris manajer
pemasaran. Meja kerjaku tertata rapi tepat di luar ruangan bosku. Latar Waktu, terjadi siang-malam hari.
Dimana tokoh Saras bekerja pada siang hari dan melayaani Irwan pada malam hari.
Cerpen itu menggambarkan Peristiwa yang bisa terjadi kapanpun, karena sampai
sekarang, eksploitasi pekerja seks wanita masih tinggi, jadi, pengarang
terinspirasi dari kejadian-kejadian itu, sehingga pegarang menjadi tertarik
untuk menceritakan sisi gelap dari seorang wanita.
2.1.4. Sarana-Sarana Sastra
Sarana-sarana sastra dapat
diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar
tercapai pola-pola yang bermakna. (Staton, 2007:46). Beberapa sarana dapat
ditemukan dalam setiap cerita seoerti konflik, klimaks, tone, gaya, dan sudut pandang. Sarana yang jarang ditemukan pada
sebuah cerita biasanya seperti simbolis.sarana-sarana paling signifikan di
antara berbagai sarana yang kita kenaladalah karakter utama, konflik utama, dan
tema utama.
2.1.4.1. Sudut
Pandang
Terkadang
sudut pandang digambarkan melalui dua cara yaitu ‘subyektif’ dan ‘obyektif’.
Dikatakan subyektif ketika pengarang langsung menilai atau menafsirkan karakter
seperti yang dapat kita saksikan lewat Vanity Fair karya Thackeray; “Had there been some kind gentle soul near a
hand who could end and appreciate this silent generous heart, who knows but
that reign of Amelia might have been over, and that friend Willia’s love might
have flowed into a kinder channel?” ‘Capur tangan pengarang’ ( biasanya
disebut dengan istilah ini ) seperti pada kutipan diatas sangat dihindari
ketika sudut pandang bersifat obyektif.
Dalam
cerpen Vampir karya Intan Paramadhita ini memiliki sudut pandang yang sangat
epik atau menarik, Dalam satu cerpen penulis dapat
menyampaikan dua sudut pandang sekaligus yakni sudut pandang sarah yang
terdesak karena keadaan dan membiarkan hasratnya menuruti kemauan atasan, juga
sudut pandang vampir yang terkucilkan dan selalu menuruti hasratnya untuk
menghisap darah.
Sudut pandang yang digunakan pengarang
ialah sudut pandang orang pertama, namun ada dua tokoh utama di dalamnya, sosok
‘aku’ bisa menjadi Saras dan juga ada sosok ‘aku’ dari si Vampir. Jadi dalam
cerpen ini sangatlah unik karena pengarang bisa memanfaatkan dua tokoh
sekaligus dalam satu sudut pandang. Kenapa pengarang membuat dua tokoh dalam
satu sudut pandang? Karena karakter Saras dan Vampir itu persis, jadi pengarang
mengibaratkan si ‘Saras’ ini sama halnya dengan si ‘Vampir’.
2.1.4.2. Judul
Kita
mengira bahwa judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga
keeduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketiak judul
mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu seperti dalam the
great Gatsby atau wuthering heights. Sebuah judul juga mempunyai tingkatan
makna. Banyak judul fiksi yang mengandung alusi (baik dari sastra atau bukan)
seperti the graphes of wrath (diambil dari the battle hymn the republic), the
sun also rises (diambil dari injil), dan tender is the night ( dari orde to a
nightingale karya keats). Intinya judul adalah kepala karya, atau inti yaang
akan di sampaikan dalam karya tersebut baik tersirat maupun tersurat.
Pada cerpen Vampir karya Intan mengapa memiliki judul Vampir? Padahal di dalamnya lebih menceritakan kisah
Saras. Memang benar tokoh utama dalam cerpen tersebut mungkin Saras, namun,
karakter Saras ini sangat identik dengan karakter Vampir, jadi pengarang ingin
menggaris bawahi kehidupan sosial Saras yang gelap sebagai wanita yang
kehilangan harga diirinya sama seperti Vampir yang digambarkan hidup dalam
kegelapan, terkucilkan dan haus akan darah. Makna dari pesan di dalam cerpen
tersebut sudah terangkum secara tersirat dalam satu judul yakni ‘Vampir’
2.1.4.3. Gaya Bahasa dan Tone
Dalam
sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski pengarang
memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bia sangat
berbeda. Perbedaantersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti
kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan
banyaknya imaji dan metafora (Staton, 2007:61). Biasanya pengarang memiliki
gaya bahasanya sendiri-sendiri atau sering disebuat sebagai ciri khas. Ernest Hemingway dikenal dengan gaya
bahasanya yang lugas, kering, kongkret, simple, dan langsung. Sedangkan Henry
James, ia lebih sering menggunakan kalimat-kalimat panjang yang rumit dan
dipenuhi detail di sana-sini. Lain halnya dengan tone. Tone adalah sikap emosional
pengarang yang ditampilkan dalam cerita (Staton, 2007:63)
Gaya bahasa yang digunakan dalam Cerpen Vampir, lugas, tidak
berbelit-belit, penyampaiannya tampak begitu natural tidak terkesan
dibuat-buat. Dan penulis merangkai dua sudut pandang sekaligus dalam bahasa
yang benar-benar ringan, dengan simbol-simbol yang mudah dipahami pembaca.
2.1.5 Simbolisme
Simbolisasi atau simbol berwujud detail-detail konkret
dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam
pikiran pembaca.simbol dapat berwujud apa saja , dari sebutir telur hingga
hingga latar cerita seperti satu objek, beberapa objek bertipe sama, sunbtansi
fisis, bentuk, gerakan, warna, suara, atau keharuman. Semua hal tersebut dapat
menghadirkan satu fakta terkait kepribadian seseorang manusia, ambisi yang
semu, kewajiban manusia, romantisme masa muda (Staton, 2007:64-65).
Simbol dalam Cerpen Vampir adalah,
‘vampir’ dalam cerpen
tersebut menyimbolkan sosok yang ditakuti, dijauhi dan sosok gelap yang
tertekan oleh keadaan. //Kami datang dari tempat yang sama, sempit,
gelap, basah, merah. Tapi ia tak menginginkanku karena ia kira aku menyusu ibu
serigala// kutipan tersebut menyimbolkan sisi gelap
dari seorang wanita, yang sebelumnya memiliki label buruk di mata masyarakat
sehingga dia mengklaim dirinya sendiri menjadi apa yang ada dalam citra
masyarakat, serigala adalah hewan buas yang menggambarkan sosok laki-laki yang
penuh dengan nafsu. //Hari itu Irwan memakai dasi merah yang menyembul dari balik jas
hitam konservatifnya.// Dalam kutipan tersebut ada simbol dengan kata ‘merah’ merah dalam cerpen
tersebut melambangkan kegairahan yang berlebihan.
2.1.6. Tema
Tema merupakan aspek
cerita yang sejajar dengan ‘makna’dalam pengalaman manusia ; sesuatu yang
menjadikan suatu pengalaman bagitu diingat. Tema juga disebut sebagai
pernyataan generalisasi, akan sangat tidak tepat diterapkan untuk cerita-cerita
yang mengolah emosi karakter-karakternya. Tema biasanya disebut juga gagasan
utama dan maksud utama, tergantung pada konteks. Cara paling efektif untuk
mengenali sebah tema karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik
yang ada didalamnya.
Tema ddalam cerpen Vampir
mengambil tema sosial karena menitikberatkan pada permasalahan sosial
yang dihadapi wanita.
Seperti yang sudah dijelaskan jika Cerpen ini menggambarkan posisi
perempuan yang merasa tertindas oleh kekuasaan dan diskriminasi minoritas,
seperti yang di rasakan dalam sudut pandang si vampir. Saras dan Vampir
sama-sama tertekan oleh keadaan, vampir juga menggambarkan hasrat terpendam
perempuan dan sisi gelap darri perempuan. Seperti yang ada dalam kutipan ‘Jabatanku
di sini adalah sekretaris manajer pemasaran. Meja kerjaku tertata rapi tepat di
luar ruangan bosku. Namanya Irwan. Ia muda, tampan, kaya, cerdas. Tentu saja
ada satu kelemahannya: beristri. Baginya ini kelemahan karena ia harus
mati-matian menutupi hubungannya dengan beberapa perempuan (setidaknya begitu
yang kudengar di hari pertamaku bekerja). Bagiku ini juga kelemahan karena aku
harus berusaha menjaga jarak mengingat intensitas interaksiku setiap hari
dengannya yang mungkin bisa menjerumuskan. Aku pernah mendengar tentang
perilaku seks di dunia kerja, tapi aku tidak pernah berselera melanggar kode
etik dan norma-norma.// Kupu-kupu seperti aku memang
senang remang-remang, bayang-bayang, halusinasi. Rumah meriah di dalam hutan
segala serigala. Kau tak akan tahu apa pun sebelum masuk ke dalam.// kupu-kupu dalam kalimat tersebut
menjadi kiasan bagi wanita yang bekerja untuk memenuhi hasrat duniawi
laki-laki, dan laki-laki digambarkan sebagai sosok serigala.
2.2. Tipe Fiksi
Novel, cerpen, dan novella merupakan
kategorisasi formal. Untuk para kritisi kategori-lategori tersebut akan sangat
berguna ketika mereka berusaha menjelaskan sebuah karya. Bagi para pembaca
pengetahuan ini akan sangat membantu, terutama ketika mereka berusaha mengenali
maksud utama sebuah karya sehingga yang besangkutan dapat memahami dan
menikmatinya
Tipe fiksi dalam cerpen Vampir yakni alegori dan simbolisme. Alegori
berbeda sifat dengan realism karena acap mengetenhkan peistiwa-peristiwa yang
tidak mungkin terjadi. Alegori adalah pengertian implicit tentang politik,
agama, moralitas, atau topic-topik lain yang telah didramatisasi sedemikian
rupa. Walaupun peyataan semacam ini kerap dijadikan karya-karya nonalegoris,
alegori tetap memilki karakter kusus. Alegori dan simbolisme tidak pernah dapat
benar-benar dibedakan (dalam konteks keduanya sebagai genre fiksi dan bukan
pianti kesastraan). Dalam alegori selalu terdapat hubungan satu lawan satu
antar tokoh-tokoh tertentu dengan maknanya atau dengan kata lain, setiaap tokoh
dalam alegori mengacu pada makananya sendiri-sendiri. Dalam simbolisme, setiap
tokoh simbolis selalu bermakna ambigu dan kompleks, maknanya tidak dapat
dipastikan satu lawan satu seperti dikatakan dalam alegori.
Intinya, karena alegori merupakan
pernyataan implisit yang menyangkut politik, agama, moralitas dan topik-topik
lain yang didramastiskan. Dan dalam cerpen ini menyinggung topik tentang
moralitas dari seorang pemimpin perusahaan bernama Irwan dan moral dari seorang
perempuan bernama Saras. Kemudian simbolisme-tokoh vampir yang seolah hidup
didalam cerpen menyimbolkan karakter dari seorang bernama Saras.
3.
Penutup
Dalam
cerpen karya Intan Paramadhita-Vampir memiliki kekhasan tersendiri, yang sangat
menonjol dari cerpen tersebut adalah sudut pandangnya. Dalam satu
cerpen penulis dapat menyampaikan dua sudut pandang sekaligus yakni sudut
pandang sarah yang terdesak karena keadaan dan membiarkan hasratnya menuruti
kemauan atasan, juga sudut pandang vampir yang terkucilkan dan selalu menuruti
hasratnya untuk menghisap darah.
Alurnya yang tampak penuh dengan sindiran halus untuk permasalahan sosial
saat ini yang menyangkut harga diri wanita benar-benar menari untuk dibaca,
bahkan bisa menjadi bahan penelitian sastra, dan pembaca juga tidak bosan untuk
membacanya berulang kali.
Daftar Pustaka
Stantos, Robert. 1965. An Introduction to fiction. New York:
Holf, Rinehart an
Winson.
Terjemahan Bahasa Indonesia: Teori Fiksi.
2007. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Janatin.
2019. “Teori struktural Robert Stanton” https://www.academia.edu/32302589/Teori_Struktural_Robert_Stanton. Diunduh pada 6 Juni 2020
Fahrul,
Azis. 2019. “Tentang teori pendekatan struktural” dalam https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/fahrulrojo/5d3 9e3d20 d823048a61575b2/teori-dan-pendekatan-struktural.
Diunduh pada 6 Juni 2020
Komentar