Langsung ke konten utama

SAKURA (Masih Ada Hati yang Tersisa dalam Duniaku)





            Ingatkah dengan pepatah ini ‘Sudah jatuh tertimpa tangga pula’ Lalu, bagaimana jika yang ku rasakan ‘Sudah jatuh tertimpa cinta pula’. Ya, di seperempat abad usiaku aku baru mengalami masa pubertas. Seperti terjerembab jurang yang dalam, aku berharap terlalu tinggi hingga terpeleset ke dalamnya.

            Cinta memang tidak salah, namun penggunanya yang salah. Salahkah jika gadis yang terkurung di dalam sel rumah sakit mencintai seseorang? Melihatnya seperti remaja menyukai bias-bias mereka. Aku hanya menatapnya selama 20 tahun ini.

            Sakura, di lihat dari namaku kalian mungkin membayangkan aku seindah bunga sakura, aku sempurna layaknya sakura. Kalian salah, aku adalah si gila. Hanya ungkapan “Gila” yang selalu menggema di telingaku. “ Sakura kau anak si pendosa! Kau dan Ibumu itu gila! Gila!”
            
             Aku hanya menelan kenyataan itu mentah-mentah, seperti yang orang bilang, apapun yang orang lain nilai tentangmu akan berpengaruh juga pada mentalmu. Mentalku mungkin terganggu, tapi perasaanku tidak. Meski harus menelan begitu banyak obat penenang, meski di nadiku ada begitu banyak cairan suntik, aku tetaplah Sakura yang memiliki hati dan perasaan.

            Hanya beberapa kepingan ingatan yang tersisa di putaran kepalaku. Sakura malang yang terbuang, seperti binatang jalang yang terasingkan. Tak ada yang memahami meski aku hanya seorang gadis kecil polos yang tak tahu apa-apa. Gunjingan demi gunjingan terngiang selalu di telingaku. Sementara hidungku,  setiap hari harus mengendus bau alkohol yang menemani malam Ibuku. Dan, mataku, hanya melihat wanita tak ada gairah yang setiap hari hanya bisa mengumpat.

            Aku mulai lelah, meski tak tahu apa-apa aku juga punya rasa sensitif. Mereka tak mungkin tahu bagaimana sesaknya di kucilkan. Siapa yang bisa memilih dari rahim mana aku dilahirkan. Jika boleh memilih, aku ingin lahir dari keturunan darah biru.

            “ Kau itu anak tak berguna! Buat apa kau sekolah, hah?!” Hanya gertakan dan pukulan yang menjadi makan malamku.

            Aku merasa miris dengan hidupku sendiri. Bukannya aku ingin mengeluh, namun inilah kenyataannya. Mau sampai kapan aku memendamnya? Apa sampai di hisab baru aku bisa mengutarakannya?

            Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja aku harus meminta dengan air mata nanah. Harapan, setiap anak pasti memiliki harapan, namun harapanku hanyalah satu. Yakni, pergi!

            Masa remajaku begitu gelap, sangat-sangat gelap. Aku ingin hidup yang lebih baik dari Ibu, paling tidak satu jengkal di depan Ibu. Namun, aku terkurung dan tak ada yang mau melepasku. Terpaksa selama 10 tahun aku mendekam di sel ini, penjara bagi-bagi orang-orang pramental. Hanya dengan cara ini aku bisa lepas dari kurungan itu.

            “ Jaga dirimu Ibu, aku juga akan menjaga diriku sendiri.” Setiap hari, setiap malam, hanya itu yang ku panjatkan. Jika Sang Pemilik Takdir masih merestui aku bertemu Ibu maka aku akan berlari untuk memeluknya.

            Di sinilah impian baruku di mulai, meski hanya sebatas angan setidaknya aku dapat menorehkan senyumku pada orang lain. Dokter tampan itu, dia yang membuat perasaanku terasa normal. Aku meyakini bahwa aku sama seperti mereka, aku seorang manusia. Tak ada salahnya untuk bermimpi.

            “ Dok, Anda sebaiknya berhati-hati dengan pasien nomor 003. Dia sepertinya begitu terobsesi dengan Anda.”

            “ Benarkah? Dia adalah pasienku sejak aku masih magang disini.”

            “ Iya Dok, dia pasien terawet. Kadang suka kumat sendiri kaya orang kesurupan.”

            Aku mendengar bisikan itu dari perawat yang melewati sel-ku. Aku menahan diri agar tidak tertawa mendengar obrolan perawat itu. Aku sering kejang bukan karena tidak sengaja, itu adalah trik yang ku lancarkan agar mereka percaya bahwa aku gila. Hanya dengan cara itu aku bisa terus berada di tempat ini. Karena memang disini muaraku berasal.

            “ Suster, saya mau pena dan kertas lagi, boleh?” Aku memanggil salah satu suster. Meminta pena dan kertas sudah menjadi keseharianku. Mereka hafal betul dengan keinginanku.

            Meski aku tidak lulus SD, namun soal baca dan menulis aku juga bisa. Aku jadi ingin bernostalgia sedikit, dahulu, aku sering mengintip lewat jendela kelas demi menyimak pelajaran yang bahkan aku tak tahu maksudnya. Hanya beberapa materi yang terdengar dan ku tangkap di otakku. Aku pernah kepergok guru satu kali, untungnya guru itu pengertian, dia tak mengusirku karena melihat kesungguhanku mengikuti meski hanya dari luar dinding.

            Masa mudaku memang datar-datar saja, sepertinya kisah seperti itu juga sudah mainstream terdengar. Oh ya, bicara soal pena dan kertas tadi, itu ku gunakan untuk menulis sebuah puisi. Ya, meski hanya sebuah puisi abal-abal tanpa makna. Aku sudah selesai dengan puisi ke -25 yang ku buat,

Lintasan Mimpi
Apa yang bisa ku isyaratkan
Tak lebih dari sebuah keluhan dan ocehan
Satu kali mencoba
Beribu kali ku tersandung kerikil tajam

Apa yang bisa ku lakukan
Jika kehidupan berakhir tanpa adanya mimpi maka akan getir terasa
Mimpi mimpi itu ibarat gelembung kecil
Inginkah aku menangkapnya,
Atau ku biarkan saja lepas dan meletus dengan sendirinya

Mimpi bukan sekedar khayalan dan imajinasi
Akulah sang pengendali mimpiku
Aku menggenggamnya dan dengan erat sampai meletus semangatku
Yang bergema dalam otakku

Bukan hanya sekedar mimpi sebagai buah tidur
Ini mimpi sesungguhnya, yang penuh dengan pencapaian

Meski terjatuh, meski terpental jauh
Bangkitlah kembali!
Katakan hal positif yang memberi ku keyakinan
Karena aku bukanlah gumpalan debu, bukan pula pasir yang lebur

aku bukanlah siluet hitam yang penuh dengan kesuraman
bukan kedewasaan yang membantuku berkarya
Aku tak akan rapuh. Tak akan pula memudar
Sebelum ku dapat apa yang ku inginkan

            Ya, kurasa itu adalah puisi pertama sekaligus terakhir yang ingin ku sampaikan pada cinta pertamaku. Aku tak berharap banyak dia akan membalas puisi yang ku berikan. Cukup melihatnya membaca sudah membuatku bahagia.

            Dan sebuah cerita, aku ingin membagikan kisahku pada dunia. Aku menunjukan siapa aku yang sebenarnya, jati diriku yang telah hilang setelah mereka memanggilku “ Si Gadis Gila". Aku ingin luapkan apa yang aku pendam selama bertahun tahun lamanya.

            Aku Sakura, gadis yang tak tahu peliknya dunia, aku lahir tanpa seorang Ayah. Aku hidup dalam kesendirian. Aku mencoba bertahan dengan satu keyakinan dalam hidupku, “ Mungkin saat ini kau terluka, namun esok kau akan bahagia.” Dan saat itulah puisi pertamaku tercipta,

Jikalau di dunia ini sebuah penantian tanpa arti.
Apa yang harus ku nanti?
Hanya Sebuah penantian tanpa ujung,
Berharap impian yang datang namun hanya kekecewaan,
Lalu, siapa yang harus ku tunggu?
Sebuah mimpi atau khayalan semata,
Kapan saya akan lelah menunggu?
Kapan saya akan menyerah?

            Kala aku merenung, pria pertama yang membuat hati Sakura mekar datang. Dia dengan wibawanya menjamuku dengan obat rutin. Kali ini saja, ku mohon Tuhan, ada yang ingin ku sampaikan.

            “ Dok sebelum Anda menyuntikku, ada yang ingin saya berikan”

            “ Tentu. Apa itu?” Dia dengan senyum khasnya menerima kertas yang ku berikan.

          Saat itulah dia menyuntikku, suntikan indah yang selalu aku terima. Aku bahagia. Dan detik itu, aku berjalan terlalu jauh, aku terbang menembus batas yang tak seharusnya aku lewati. Aku tahu jawaban atas puisiku. “ Kapan aku akan menyerah?” saat ini, hari ini, dan di detik ini. Aku katakan aku menyerah. Aku berlari, melewati batas waktuku.

***



by : Ayuni Kurnia Wulandari





Komentar

Drfruit mengatakan…
Mana buku nya

Populer

Analisis Puisi “ IBU” Karya D. Zawawi Imron

  “ IBU” Karya D. Zawawi Imron   Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting Hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir Bila aku merantau Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar Ibu adalah gua pertapaanku Dan ibulah yang meletakkan aku di sini Saat bunga kembang menyerbak bau sayang Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi Aku mengangguk meskipun kurang mengerti Bila kasihmu ibarat samudera Sempit lautan teduh Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh Lokan-lokan, mutiara dan kembaang laut semua bagiku Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu Lantaran aku tahu Engkau ibu dan aku anakmu Bilaa berlayar lalu datang angin sakal Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ANALISIS PUISI WS RENDRA 'Orang-orang miskin'

  Orang-Orang Miskin karya : WS Rendra Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya. Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan. Bila kamu remehkan mereka, di jalan  kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan, dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Jangan kamu bilang negara ini kaya karena orang-orang berkembang di kota dan di desa. Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. Dan perlu diusulkan agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa. Orang-orang miskin di jalan masuk ke dalam tidur mala

Tentangku dan Rasa

Source pic by : pinterest Dulu aku sempat berpikir jika manusia memang terlahir dengan kesempurnaan mereka masing-masing. Namun pada akhirnya aku menyadari, jika tidak ada satu orang pun yang memiliki kesempurnaan sedetil-detilnya. Jika memikirkan kita terlahir sempurna itu termasuk pelanggaran ketaqwaan kepada sang pencipta. Maka berlagak seolah kita sempurna adalah pelanggaran terbesarnya. Maka dari itulah, kehidupan ku yang porak poranda. Jiwaku yang terkekang, dan hatiku yang lama mati rasa, adalah bentuk dari ketidak sempurnaan yang di berikan oleh-Nya. Rasanya berat berbagi serpihan kisah ini, dan menuangkan kisahnya dalam bentuk tulisan. Namun, ku kuatkan tekadku untuk menceritakannya. Karena bagiku, ini bukanlah kisah dramastis ala bollywood maupun drama korea yang penuh dengan fantasi. Kisah ini, ku tuangkan penuh ketulusan, dan rasa syukur karena ku harap dapat menginspirasi semua orang. Aku bukanlah gadis periang yang acuh terhadap semua cobaan, aku kera

Analisis Intertekstual Puisi ‘Malin Kundang ’ Karya Joko Pinurbo

  MALIN KUNDANG Puisi Joko Pinurbo Malin Kundang pulang menemui ibunya yang terbaring sakit di ranjang. Ia perempuan renta, hidupnya tinggal menunggu matahari angslup ke cakrawala.   “Malin, mana istrimu?” “Jangankan istri, Bu. Baju satu saja robek di badan.” Perempuan yang sudah tak tahan merindu itu seakan tak percaya. Ia menyelidik penuh curiga.   “Benar engkau Malin?” “Benar, saya Malin. Lihat bekas luka di keningku.” “Tapi Malin bukanlah anak yang kurus kering dan compang-camping. Orang-orang telah memberi kabar bahwa Malin, anakku, akan datang dengan istri yang bagus dan pangkat yang besar.” “Mungkin yang Ibu maksud Maling, bukan Malin.” “Jangan bercanda, mimpiku telah sirna.”   Walau sakit, perempuan itu memberanikan diri bertanya: “Ke mana saja engkau selama ini?” “Mencari ayah di Jakarta.” Lalu kata ibu itu: “Ayahmu pernah pulang dan aku telah sukses mengusirnya.”   “Benar engkau Malin?” Ibu itu masih juga sangsi. Dan ana

Boneka 1

    14 Juni 2006. Hari ulang tahunku yang ke-5, Ibu diam-diam memberiku boneka berbentuk hati berwarna merah, dan meletakkan di tepi ranjangku. Aku senang, sampai sekarang boneka itu masih bertengger manis di ranjangku.      14 Juni 2007. Hari ulang tahunku yang ke-6, Ayah mengajakku pergi ke plaza, tanpa Ibu, hanya ada aku dan adikku. Aku senang, karena setelah satu tahun aku akhirnya bertemu Ayah, dia mengingat hari ulang tahunku, dan memberiku boneka anjing dan domba.     14 Juni 2008. Tidak ada lagi yang memberiku boneka.  Mungkin kamarku sudah penuh boneka, jadi boneka tidak diperlukan lagi.      14 Juni 2009. Tidak ada lagi laki-laki itu...kemana hilangnya?  Lagi-lagi aku hanya bisa bilang "entah"     14 Juni 2010. Aku diperkenalkan dengan orang asing, yang harus ku sebut dengan sebutan "Ayah" Baiklah.      14 Juni 2011. Ibuku seperti orang asing. Aku tidak begitu dekat  dengannya. Bahkan saat didekatnya, hanya ada rasa takut menjalariku.