source pic :pinterest
Puan, pernahkah kalian dengar kisah seorang gadis bernama Laksmi yang terlantar di reruntuhan kereta besi, kini gadis itu kian beranjak dewasa dan tumbuh dengan eloknya, laksana puncuk layu yang mekar kembali. Laksmi pernah mendengar kisahnya dari para tetuah kampung. Namun telinga bertabur kebohongan tak sepenuhnya ia percayai.
Seorang kakek pincang berwajah muram, datang menyeka air matanya. “ Laksmi, Laksmi, aku yang memebesarkanmu cah ayu. Jangan dengarkan masyarakat yang tak tahu menahu, dengarkan apa sing ana ning jero atimu.” Ujar kakek dengan logat jawa yang sudah di terjemahkan oleh Laksmi sendiri.
Laksmi tak ingin berputus asa. Dia sudah mendengar sebagian kisahnya dari mulut kakek, dan aroma kemenyannya begitu menohok di hidung Laksmi. Kini waktunya untuk mengais potongan kisah sendiri, bukan dari bibir orang lain. Kampung itu begitu damai di malam hari, desiran halus angin malam membawa melodi syahdu bagi setiap warga yang bermimpi, namun tak luput membawa sayatan-sayatan perih yang masih mereka rasakan hingga merembas masuk ke tulang. Namun, Laksmi masih belum merasakannya, dia hanya bocah bau kencur yang tak paham apa-apa namun berusaha ingin tahu. Suara rintihan dan rasa was-was dari jiwa-jiwa yang terlelap, hanya Kakek yang bisa mendengarnya, sementara Laksmi, dia berimajinasi terlalu tinggi.
Laksmi memohon pada kakek agar memberkatinya menuju Surabaya. Kota kelahiran yang tak pernah ia bayangkan bentuknya seperti apa. Laksmi adalah kumbang, kumbang yang seharusnya terbang di awang-awang. Di kampung yang terasa asing baginya, meski sudah tumbuh selama 20 tahun di sana, tetap saja, negeri antah berantah Surabaya menariknya kembali.
“ Tapi berhati-hatilah cah ayu. Masih banyak serdadu Jepang yang berjaga di sana.” Laksmi mengerti, pesan kakek. Dan pesan itulah yang akan tereka ulang dalam ingatannya selama 5 tahun berikutnya.
Laksmi akhirnya lepas dari sangkarnya, Kakek tahu betul watak batu Laksmi, dia tak mau mendengar siapa pun kecuali dirinya sendiri. Jika dia sudah memutuskan sesuatu, maka itulah yang terjadi. Laksmi seorang diri menuju Surabaya, Kakek hanya bisa mengantarnya sampai di stasiun. Wanita itu begitu senang, kakek jadi tak tega untuk menghalangi kepergiannya.
Laksmi, laksmi, apa kau tak dengar suara Puan yang memperingatkanmu. Kau mengais hidupmu, atau malah menyalakan cerutu yang tak seharusnya kau isap. Kini dua puluh lima genap usiamu. Di perjalananmu ke Surabaya, kau di hadang seorang prajurir Jepang. Wajah campuranmu yang lebih merujuk ke kaum penjajah membuat mereka terpesona, kau begitu elok, sungguh elok. Hingga salah satu dari mereka mempersuntingmu.
Kini puteri cantikmu genap lima tahun usianya. Kau sedang bahagia saat ini, sambil menceritakan kisah masa kecilmu padanya. Mengupas bawang serta bergantian mengelap ingus yang menetes di kerah-kerah baju puterimu.
“ Kau harus beruntung nak, Ibumu ada bersamamu.”
“ Memang dimana Ibumu, Oka-san?”
“ Ibu meninggalkan osan saat osan kecil. Di dalam kereta tua. Seorang kakek dengan mata sendunya, dengan kemenyan yang begitu khas dari mulutnya merawat osan. Hingga saat ini osan ada bersamamu, semua berkat kakek.”
Laksmi tak tahu apa kisah itu benar, apakah seorang ibu benar-benar ingin meningglakan puterinya yang masih berbalut tali pusar di dalam kereta gelap yang menyesakkan? Ataukah seorang bandit jahat yang telah merenggutnya dari Ibu. Laksmi masih berpikir baik hingga saat ini, karena sang kakek yang mengarahkannya untuk senantiasa memuji, dia merasa terbekati karena masih hidup hingga sekarang.
“ Osan lihat! Oba-san sudah kembali.”
“ Hey nak! Habiskah dulu makananmu.”
Laksmi hanya bisa bergeleng sambil tersenyum melihat nasi-nasi yang bercecer di lantai marmer rumahnya. Perilaku anak memang tidak jauh berbeda, dulu dia juga seperti itu.
Empat puluh lima usia suaminya. Pakaian hijau dengan rupa-rupa pin tertempel di dadanya, membuat Laksmi merasa bangga mendapatkan lelaki itu. Ya, rumah mewah yang Laksmi dapatkan saat ini adalah berkat sang suami. Dan tentu saja, dalam hati kecil Laksmi memuji kecantikannya sendiri yang mampu menarik hati lelaki bermata kecil itu. Rumahnya bukan rumah bergaya Victoria, karena masa itu belum ada perancangnya. Bukan pula rumah bergaya Jepang seperti kebuayaan yang suaminya anut. Rumah mewah itu tampak menonjol dengan akulturasi antara budaya jawa dengan Jepang pada masanya.
Laksmi bukanlah pengkhianat negeri, dia hanyalah wanita yang terbutakan oleh rasa ketidak tahuan. Ya, rasa ketidak tahuan. Malam ini, makan malam keluarga Laksmi, di temani suara lolongan anjing liar, dan dengan di padukan bising radio yang baterainya sudah hampir habis. Di antara tiga deretan rumah yang berada di hamparan sawah nun luas ini, hanya rumahnya-lah yang memiliki radio. Karena masa itu, hanya kaum berpengaruh-lah yang boleh memilikinya. Kaum pribumi, ya, kaum pribumi, Laksmi belum pernah mendapati bagaiman menderitanya kaum pribumi masa itu.
Suaminya menyebut Laksmi bangsawan, Laksmi tak berkenankan pergi dari rumah. Semua kebutuhan yang menyangkut urusan luar, perbelanjaan, seorang pesuruh yang mengaturnya. Namun seperti itulah, jika mata sudah terbutakan. Burung dalam sangkar pun bisa menjelma menjadi bangasawan, dan Laksmi terlena akan hal itu.
Seperti pungguk yang mendapatkan bulannya, begitulah gambaran yang Laksmi dapatkan. Seorang gadis buangan yang mendapat pangeran impian. Tidak hanya tampan, tapi suaminya penuh pengertian. Setiap malam, suaminya pulang dengan seragam dan atribut kebanggaannya. Lalu mereka bercengkrama, dan akhirnya terlelap dalam romansa yang mereka buat setiap malam. Namun Laksmi masih belum mengetahui kisah kelam di balik atribut mewah-nya itu.
Himawari Meyto, puteri dari pasangan Jenderal Meyto dan Laksmi tumbuh menjadi gadis yang cantik, perpaduan antara ras pribumi dan penjajah Jepang sangat kental dari wajahnya. Begitu pun dari wajah Laksmi, hanya saja, dia kurang bercermin diri.
Laksmi sempat bertanya sekali pada kakek. “ Dari mana mata sipitku berasal kek? Mata kakek besar dan bulat. Lalu aku?”
“ Matamu di cucuk gaok. Yo koyo ngono memang.” Hanya itu, gurauan kakek yang sampai sekarang masih terngiang di telinga Laksmi. Ingin rasanya dia membawa kakek dari gubug usangnya di kampung. Namun apa daya, untuk melangkah melewati pintu utama sudah susah, bagaimana jadinya jika dia melewati batas yang sudah Meyto buat di atas perjanjian pernikahan mereka.
“ Demi keamananmu, jangan pernah melangkah dari wilayah ini.” Begitu dalih yang dia buat untuk menutupi bangkai di balik atributnya. Sehari-hari, batas dari kekuasaan yang Laksmi miliki hanyalah dapur beserta paviliun-paviliunnya. Baginya itu semua sudah terasa cukup, ya, seekor bangau hitam tentu saja cukup mendapat pasangan se-elok merpati putih.
Tiap harinya, Laksmi hanya mendengar siaran radio yang bernaskah politik-politik Jepang. Seperti yang terdapat di dalam sejarah, para aktivis negeri tidak berkenankan menyinggung kebijakan kaum imperalis. Mereka hanya boleh berkoar untuk kebaikan Asia. Makanya, Laksmi tidak menjadapatkan pencerahana apa pun dengan mendengar siaran itu.
Pagi ini Himawari pergi bersama Ayahnya, dia harus sekolah, ya minimal lulus dari sekolah bangsawan seperti para petinggi lainnya, dia adalah darah campuran. Sehingga tidak mungkin, Himawari di didik layaknya pribumi lain yang mesti bertopang fisik demi bisa hidup.
Wanita itu masih berukutat di dapur. Dia memasak tumis kangkung andalannya, baru pukul 09.00 pagi, masih tersisa 2 jam hingga mereka kembali dari sekolah. Laksmi tak sabar lagi melihat perkembangan Himawari yang multi bahasa itu. Tiba-tiba irisan wortel mengingatkannya pada Sang Kakek. Bagaimana keadaannya? Lama sudah, terlampau lama untuk menanyakan apakah dia baik-baik saja di sana, atau sudah terkubur di balik tanah. Laksmi pun tak tahu, dia ingin sekali pergi menjenguk kakek, namun apalah daya, dia hanya bisa meratapi kerinduannya pada pria renta itu. Laksmi hanya bisa berdoa mendapat kabar kakek lewat mimpinya.
Pukul 11.00 lebih, belum ada seorang pun yang kembali. Dia semakin merasa kesepian di rumah sebesar ini.. Laksmi hanya dapat mengamati foto keluarganya berbingkai pigura kayu yang tertempel di dinding ruang tamu. Andai, andai saja Kakek ada di sana, maka keluarga itu akan lengkap. Laksmi jadi semakin bersalah meninggalkan Kakek sendirian di kampung yang kumuh itu.
Tiba-tiba saja terdengar suara pintu di ketuk, Laksmi berpikir itu adalah Himawari dan Meyto. Lalu dia bergegas menghampiri mereka. Rupanya salah, dia orang lain yang membawa sekotak surat untuk di berikan kepadanya. ‘Sepucuk surat jatuh dari langit’ Laksmi mengernyit membaca judul yang begitu dramastis itu.
Laksmi menerima surat yang di hantarkan kurir oleh Kauso, kurir surat langganan suaminya. Amplop usang berwarna coklat tua yang panjangnya kisaran 25 x 8 cm itu tak tertanggal nama si pengirim. Laksmi sedikit tersenyum, dia berharap kertas dengan angka-angka banyak yang berada di dalamnya. Namun pupus sudah, surat usang yang sepertinya lama tersimpan menjadi bahan yang kini di cekalnya.
Ya, Kakek pasalnya, dia mengirimkan surat dari langit untuk Laksmi. Surat yang berisi tentang kehidupannya sebelum lahir. Surat yang menceritakan derita wanita bernama Inem yang di paksa menjadi Jugun Lanfu atau wanita pemuas hasrat prajurit Jepang. Wanita itu kemudian di campakkan setelah menagndung, dia kemudian di buang ke emperan rel kereta setelah melahirkan. Baru setelah bayinya lahir, dia di tarik kembali. Tinggalah Laksmi seorang diri yang di titipkan pada Ayah Inem, dia-lah kakek menyan yang selalu Laksmi rindukan.
Remuk sudah hati Laksmi, jadi selama ini dia masuk ke dalam lubang kematiannya sendiri. Apakah karena itu, dia tak bisa melihat penderitaan wanita pribumi sekarang ini? Laksmi merasa BODOH, dia hidup cukup di atas pajak rakyat, dan kerja Romusha mereka.
Laksmi membuka lembar kusam kedua. Membelalak sudah matanya, jantungnya sudah tak bisa berfungsi normal seperti sebelumnya. Laksmi membacanya, “ CARILAH TENTARA BERNAMA MEYTO, DIA MUNGKIN SAJA BAPAKMU LAKSMI. TANYAKAN DIMANA IBUMU, DIA MUNGKIN TAHU.” Kata demi kata hingga bercucur sudah air matanya...,
Saat itulah, Laksmi menghilang. Menghilang dari pusaran bumi ini, menghilang tiba-tiba seperti tertilap di dalam amplop usang yang 3 jam lalu di bacanya. Tak ada sambutan lagi dari bilik rumah itu ketika sepasang kaki kecil memanggilnya. Dan tak ada sambutan lagi ketika suaminya pulang dan memanggil namanya. Semuanya hening, sungguh memilukan. Hanya ada suara tangis dari dalam kuali besar yang biasa Laksmi gunakan untuk merebus air mandi.
“ Oka-san ! Oka-san!” saat itulah puteri kecil mereka menari dengan air matanya. Menatap seonggok daging rebus yang begitu anyir terambang di dalam kuali. Laksmi telah melampaui kodratnya sendiri.
Apa yang Tuan lihat? Tubuhku yang remuk? Ya Tuan! Itu tak seberapa dengan rasa penyesalanku terhadap engkau. Bagaimana bisa surat usang itu berhasil membodohiku. Atau memang aku yang sudah bodoh dari lahir? Terkutuklah engkau! Dan seluruh keluargamu akan menyisakan air mata darah untuk kau minum sendiri! Terkutuklah! Terkutuklah!
Suat ini ku kirimkan dari nirwana, kini ku ingat piweling yang kakek ucap sebelum kepergianku. “nduk, berhatilah-hatilah dengan barisan serdadu yang mengaku sebagai saudara tua kita, kaum pribumi.”
Jadi Tuan, kini aku sudah beranjak dewasa. Sudah beranjak dari lupa yang kau berikan. Kini aku adalah Laksmi, bukan lagi Inem yang pernah kau setubuhi. Jadi cukupkan saja aku dengan lesung di wajahmu. Tuan, tinggalkan saja surat ini di samping nisanku. Kau dengan semua keagungan yang wanita negeri ini berikan padamu, kau akan merasakan nanah mengalir dari kemaluanmu itu. betapa kejamnya kau mengincarku? Kau menginginkan puterimu juga, apakah tak cukup kau hancurkan hidup Ibuku? Jadi Tuan, hingga akhir hidupku. Aku tidak akan pernah berkenan memanggilmu “ Ayah”.
--SELESAI-
Komentar