Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2019

Sajakku, Diammu

course pict : pinterest S ajak tujuh seuntai yang ku senandungkan padamu, Dengan segenap jiwaku, yang terbelenggu Seketika wajahmu meremang, Sayangku... Lebam di hatimu tak pernah sirna meski berulang kali ku cumbu Dengarlah Wahai Sayangku.., sajakku ini ialah pelapis rindu Meski tinta biru menjelma menjadi air abu Meski bianglala menjadi warna-warna kelabu Tetap ku tuliskan puing rindu ini, hanya padamu Dibalik temaram, akan ku syairkan sajak ini dalam tidurmu Esok kau akan terbangun, meski hanya temukan siluet terbungkus belacu Meski begitu Sayangku... Sekeras apa pun aku meraung, diammu memekakan sajakku Jangan begitu, Sayangku... Masih tersisa sekuncup harapan yang ku mekarkan disandingmu, Sayangku, tak ku dengar lagi bisik hatimu yang menderu Kini, jelaslah sudah, kau larung aku tanpa ragu. original Ayuni Kurnia 

Surat untuk NKRI

course pict : pinterest   B erliter darah mengarungi jalan metropolitan kotor Dari kerja rodi, hingga longlongan proklamator Dari kasus alu celurit, hingga jeruji besi dipenuhi tikus kantor Dari krisis moneter , hingga seruan reformasi Hakim hanya mengetuk palu, tak menghapus masa lalu Meski bermilyar keringat menetes, pertiwiku tetaplah sama Kata reformasi seolah hanya angin lalu di tangan para benalu Para jejak kotor berdasi, meninggalkan tapak kaki kebringasan Inikah yang kita sebut keajaiban reformasi? Tahukah jika terlalu banyak metafora di tanah pertiwi ini? Ego diri mulai membenamkan kejujuran  dalam nadi  Hanya ada gema perut-perut rakus yang mencari mangsanya Sayangnya, denyut waktu masih tertancap kuat di tangan pembabat Sayangnya, kecamuk alam ini tak terdengar oleh telinga kotor mereka Inikah yang kita sebut pembenahan diri? Mesin waktu tak mungkin bisa diulang, bumi kita kini sudah telanjang ! Melihat darah merah

Derai Hujan di Malam Semu

source pic : pinterest M alam ini,  di kota kelam ku Hingar bingar perkotaan melumat keheningan ku Kalimat esoteris yang kau bisikkan terngiang dalam te m aram kalbu Keselarasan antara nostalgia dan nyata begitu semu Aku,  sang penjelajah hati terbelenggu tirai kelabu Hujan malam itu,  melebur sunyi Kau bagaikan sampan yang berlabuh lalu pergi Kau bagaikan angin yang berlalu dalam sepi Dirimu yang tak pernah kembali meski ku teriaki Dirimu yang singgah,  begitu menyakitkan bak gerigi Semesta mengasihani derai hujan Kehampaan menerpa jejak yang dulu berjejaran Tapi Mengapa kini  kita saling berkejaran Semesta mengabadikan derai hujan Meski air mata mengoyak tubuhku yang terbalut rajutan Tetap saja ilusimu sangat mengusik keheningan Bahkan bayanganmu, Bayangan surammu, ku harap tersapu bersama derasnya derai hujan Malam ini, di kota kelamku. Yogyakarta, 8 Agustus 2019