Langsung ke konten utama

Sehun X Reader PART 3

 

            Hmm... kenapa matahari itu begitu menyengat. Padahal ini hari libur yang menyenangkan untuk tidur. Tapi tak apa, sinar itu membuatku bersemangat untuk jogging menghilangkan lemak di perutku yang sudah tertimbun berhari-hari. Aku segera beranjak dari apart setelah mengganti piyamaku dengan kaos dan training. Baru beberapa langkah dari ambang pintu aku di kagetkan dengan suaranya.

            “(...) Tunggu!”

            “He? Aku?”

            “Ya siapa lagi, kau kan (...). kau mau joging sendirian?”

         Aku mengangguk. Dia itu tidak biasanya basa-basi begitu. kenapa pria dingin berubah jadi cerewet sekali. Apa dia berniat menyuruhku lembur di hari libur?

            “Kak jangan ganggu hari liburku, please... ya?”

            “Memang aku tampak seperti penganggu? Hey kau tunggu di sini dulu.”

            Huff, benarkan? Lagi-lagi di suruh berdiri di depan pintu. kenapa sih dia suka sekali mengatur. Bilang saja kalau mau menyuruh, kenapa pakai tunggu-tungguan segala! Tidak lama dia membuka pintunya, dan kostumnya berganti training dan kaos. Apa dia mau ikut jogging denganku?

            “Ayo cepat!” dia berlari mendahuluiku. Wah, benar-benar tidak tahu balas budi, sudah ku tunggu malah di tinggal.

            “Jadi sudah berapa lama kau tinggal di sini?” tanyaku berusaha mencairkan suasana.

            “Sekitar 3 tahun.”

            “Ooh begitu,” Tapi apa kau benar-benar tidak ingat aku? Sekali saja kau singgung tentang masa SMA, aku mungkin akan mencoba  memancingmu. Argh, kenapa susah sekali memancing situasi, kenapa juga aku kembali berharap pada masa itu. memangnya aku sepenting itu untuk di ingat?

            “Sore ini, apa kau mau menemaniku ke suatu tempat?”

            “Ke mana?”

            “Tempat penting denganku.”

            “Oke.” Dan entah kenapa aku tidak bisa menolaknya. Seharusnya aku bertanya sekali lagi, kenapa harus mengajakku. Apa dia tak memiliki teman lain?

            Skip>>>

            Aku sedikit berlama-lama di kamar, memilih baju yang pantas untukku pergi bersama Profesor Oh. Memang sedikit memalukan karena aku pun tak tahu mau di ajak ke mana. Jadi tak apalah, untuk berjaga-jaga tentunya aku harus tetap rapi bukan?  jadi, kuambil dress biru selutut dan membiarkan rambutku tergerai, aku ingin tampak sederhana.

            Dia mengetuk pintu kamarku, aku segera menemuinya. Dia tidak bicara banyak, dia hanya mengatakan akan menunggu di bawah. Jadi kupercepat langkahku menyusulnya. Aku segera masuk ke mobilnya. Dia segera melaju, dan sepanjang perjalanan aku merasakan ada sesuatu yang janggal. Kenapa dia dingin sekali. Ke mana sebenarnya dia pergi.

            Aku merasa mengantuk sekali, hari semakin gelap, tapi kami belum juga sampai. Aku tidak berani bertanya. Bayangkan saja, bagaimana rasanya terintimidasi, biar bagaimanapun aku memiliki rasa peka yang tinggi, pasti ada yang tidak beres.

            Mobil itu memasuki sebuah rumah besar, bahkan gerbangnya hampir mencapai 10 meter. Aku sedikit menganga, bahkan rumahku saja tidak semegah itu. hampir 2 kali lipat dari rumahku. Apa ini rumah keluarga Oh? Keluarga Oh yang terkenal itu? ya, aku pernah mendengarnya sebelumnya. Mereka memiliki perusahaan besar bernama OH Corp. Dan kalau tidak salah sekarang perusahaan itu di pegang oleh putra sulung keluarga, atau kakak dari Oh Sehun.

            Dia hanya membukakan pintu untukku, tapi tidak mengatakan apa pun. Seperti memahami situasi, aku hanya mengikutinya masuk. Saat semua pelayan memberinya salam, dia tetap berjalan lurus. Kini tujuannya ada di lantai 2.

            “Maukah kau membantuku?”

            “Maksudmu?”

            “Ku mohon buatlah dia sadar.” Dia membuka pintu kamar, dan menyuruhku masuk, aku masih tidak mengerti dengan perkataannya barusan. Siapa yang ada di dalam, dan kenapa harus aku?

            Aku berjalan dengan sedikit canggung. Oh Sehun mengikutiku dari belakang. Kamar itu luas, dan karena tempat yang luas itu aku melihat seorang pria paruh baya yang tampak tak sadarkan diri dengan banyak sekali alat medis di tubuhnya.

            “Dia Ayahku. Setelah kecelakaan yang menimpa Ibuku dua tahun lalu, dia seperti ini. Keadaannya sedang drop sekarang. Aku tidak memiliki keberanian menyapanya. Jadi kumohon,”

            Aku baru mengerti sekarang, ternyata dia tidak baik-baik saja.  itulah sebabnya dia diam sepanjang jalan, dia pasti merasa rapuh sekarang ini. Entah kenapa kakiku melangkah sendiri, tiba-tiba saja aku memeluknya dan berkata “Jangan cemas, aku akan membuatnya baik-baik saja.” Sehun mungkin saja terkejut dengan keberanianku.

            Dia pria yang sering aku lihat di majalah, dia seorang presdir besar. Pantas saja, selama ini aku tidak pernah melihatnya lagi, dan tentunya, setelah kecelakaan itu, aku hanya sempat mendengarnya dari berita. Dan saat itu, aku tidak tahu, bagaimana perasaan Oh Sehun setelah tragedi itu terjadi. Dia pasti sangat tertekan.

            “Apa kau tahu Tuan, di sini, masih  ada putramu yang tersisa. Dia, begitu menghawatirkanmu. Apa kau tidak ingin membuka matamu sekali saja? kau tidak ingin melihat putramu meneteskan air mata untukmu?"

            “Apa kau tahu, kita sama-sama pernah kehilangan, ya, mungkin bukan sekarang, tapi aku pasti akan mengalaminya. Tapi aku selalu bersiap, aku berusaha untuk mengingat orang-orang yang masih menginginkanku. Aku tidak ingin berlarut, dan pada akhirnya menyia-nyiakan kesempatanku untuk mereka yang masih hidup.”

            Aku yakin, dia pasti mendengarku, karena secara perlahan, air matanya menetes. Dia pasti sadar, aku selalu optimis akan sesuatu. “Tuan Oh, aku sungguh kagum dengan rasa cintamu yang begitu besar pada istrimu. Tapi Tuan, apa istrimu tidak pernah mencintai kedua putramu? Apa dia akan bahagia melihatmu mengabaikan mereka? Kapan kau akan memeluk mereka? Putramu juga kehilangan ibu mereka, apa kau tega membiarkan mereka kehilangan Ayahnya juga?”

            Aku melihat Sehun yang mencoba menahan air matanya. Aku tahu, dia ingin sekali melihat Ayahnya kembali seperti dulu, sejauh yang kutahu, mereka sangat dekat. Aku meraih tangannya, dan menyuruhnya mengatakan sesuatu. Itu akan sangat membantu Tuan Oh.

Skip >>>

            Dia tak henti-hentinya tersenyum. Sepanjang perjalanan dia menoleh ke arahku hampir tiga kali per menit. Aku tahu, rasanya pasti membahagiakan karena Tuan Oh yang sudah kembali sadar. Aku tidak banyak membantu, yang sebenarnya berperan besar adalah sebuah ketulusan, dan ketulusan itulah yang menciptakan keajaiban. Oh ya, dan baru kali ini aku melihatnya tersenyum seperti itu, senyumnya begitu lepas.

            “Mau kutraktir sesuatu malam ini?”

            “Oh? Boleh. Kebetulan aku ingin sekali makan ayam panggang. Kau bisa belikan?”

        “Ayam panggang? Kalau begitu kita beli bahannya saja, seperti biasa, memasak di balkon. Bagaimana?”

            “Ide bagus.” Aku senang, seperti tak ada jarak di antara kita, aku senang, kita seperti teman yang sudah akrab lama sekali. Dan aku senang, aku bisa melihat wajahnya sedekat ini. Aku tidak menginginkan lebih, tetaplah seperti ini, kedekatan ini, ku mohon, perasaan apa pun yang berhubungan dengan cinta, jangan berani merasuk ke hatiku.

            Skip>>>

            Aku menikmati aroma daging yang terpanggang, tanpa sengaja tanganku menyentuh besi pemanggang. “Uh!” Aku mengibaskannya karena melepuh. Oh Sehun yang baru saja menyiapkan tempat langsung bergerak ke arahku. “Kau baik-baik saja? sini biar kulihat.”

            Dia meniup jariku, lalu mengolesinya dengan kecap, biar tidak melepuh katanya. Oh gawat, jantungku seperti berlari. Aku merasakannya lagi, bahkan jauh lebih cepat dari sebelumnya. Bahkan mungkin jika tidak di kegelapan wajah merahku akan sangat tampak. Aku segera menarik jariku dari tangannya.

            “Terima kasih, tapi tidak separah itu kok. Jangan cemas.”

            “Oh syukurlah. Tunggu kau duduk saja, biar ku ambil dagingnya.” Dia beranjak untuk mematangkan daging ayamnya.

            “ Sadarlah (Name), dia itu dosenmu. Ingat!”

            Ayam pun datang, dia menghidangkannya bak chef profesional. Dengan irisan bawang dan mayones, sungguh menggoda sekali. “Selamat makan!!!” ucapku girang.

            Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Sehun segera mengangkatnya, kali ini dia tak mengatakan permisi. Aku dengan tenang menghabiskan bagianku. Kenapa dia lama sekali? Pikirku. Rasa penasaranku tak terbendung lag, aku pun berjalan menghampirinya. Namun baru beberapa langkah di belakang, dia sudah berbalik.

            “(Name) maaf ya. Aku harus pergi sekarang, aku harus menjemput seseorang.”

            “Siapa?”

            “Teman lamaku. Kau habiskan saja, aku mungkin pulang larut.”

            “Oh baiklah.” Aku melihat punggungnya yang menjauh, dia mengambil jaket lalu pergi begitu saja. kenapa aku jadi kepo begini, seharusnya aku tidak boleh seperti ini, toh dia bukan siapa-siapa. Apa pun yang dia lakukan bukanlah urusanku, tapi wajah bahagianya sungguh mengganggu. Dan nama yang tertera dalam ponselnya juga menganggukku. “ Jenny”

***


Komentar

Populer

Analisis Puisi “ IBU” Karya D. Zawawi Imron

  “ IBU” Karya D. Zawawi Imron   Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting Hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir Bila aku merantau Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar Ibu adalah gua pertapaanku Dan ibulah yang meletakkan aku di sini Saat bunga kembang menyerbak bau sayang Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi Aku mengangguk meskipun kurang mengerti Bila kasihmu ibarat samudera Sempit lautan teduh Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh Lokan-lokan, mutiara dan kembaang laut semua bagiku Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu Lantaran aku tahu Engkau ibu dan aku anakmu Bilaa berlayar lalu datang angin sakal Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ANALISIS PUISI WS RENDRA 'Orang-orang miskin'

  Orang-Orang Miskin karya : WS Rendra Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya. Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan. Bila kamu remehkan mereka, di jalan  kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan, dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Jangan kamu bilang negara ini kaya karena orang-orang berkembang di kota dan di desa. Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. Dan perlu diusulkan agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa. Orang-orang miskin di jalan masuk ke dalam tidur mala

Tentangku dan Rasa

Source pic by : pinterest Dulu aku sempat berpikir jika manusia memang terlahir dengan kesempurnaan mereka masing-masing. Namun pada akhirnya aku menyadari, jika tidak ada satu orang pun yang memiliki kesempurnaan sedetil-detilnya. Jika memikirkan kita terlahir sempurna itu termasuk pelanggaran ketaqwaan kepada sang pencipta. Maka berlagak seolah kita sempurna adalah pelanggaran terbesarnya. Maka dari itulah, kehidupan ku yang porak poranda. Jiwaku yang terkekang, dan hatiku yang lama mati rasa, adalah bentuk dari ketidak sempurnaan yang di berikan oleh-Nya. Rasanya berat berbagi serpihan kisah ini, dan menuangkan kisahnya dalam bentuk tulisan. Namun, ku kuatkan tekadku untuk menceritakannya. Karena bagiku, ini bukanlah kisah dramastis ala bollywood maupun drama korea yang penuh dengan fantasi. Kisah ini, ku tuangkan penuh ketulusan, dan rasa syukur karena ku harap dapat menginspirasi semua orang. Aku bukanlah gadis periang yang acuh terhadap semua cobaan, aku kera

Analisis Intertekstual Puisi ‘Malin Kundang ’ Karya Joko Pinurbo

  MALIN KUNDANG Puisi Joko Pinurbo Malin Kundang pulang menemui ibunya yang terbaring sakit di ranjang. Ia perempuan renta, hidupnya tinggal menunggu matahari angslup ke cakrawala.   “Malin, mana istrimu?” “Jangankan istri, Bu. Baju satu saja robek di badan.” Perempuan yang sudah tak tahan merindu itu seakan tak percaya. Ia menyelidik penuh curiga.   “Benar engkau Malin?” “Benar, saya Malin. Lihat bekas luka di keningku.” “Tapi Malin bukanlah anak yang kurus kering dan compang-camping. Orang-orang telah memberi kabar bahwa Malin, anakku, akan datang dengan istri yang bagus dan pangkat yang besar.” “Mungkin yang Ibu maksud Maling, bukan Malin.” “Jangan bercanda, mimpiku telah sirna.”   Walau sakit, perempuan itu memberanikan diri bertanya: “Ke mana saja engkau selama ini?” “Mencari ayah di Jakarta.” Lalu kata ibu itu: “Ayahmu pernah pulang dan aku telah sukses mengusirnya.”   “Benar engkau Malin?” Ibu itu masih juga sangsi. Dan ana

Boneka 1

    14 Juni 2006. Hari ulang tahunku yang ke-5, Ibu diam-diam memberiku boneka berbentuk hati berwarna merah, dan meletakkan di tepi ranjangku. Aku senang, sampai sekarang boneka itu masih bertengger manis di ranjangku.      14 Juni 2007. Hari ulang tahunku yang ke-6, Ayah mengajakku pergi ke plaza, tanpa Ibu, hanya ada aku dan adikku. Aku senang, karena setelah satu tahun aku akhirnya bertemu Ayah, dia mengingat hari ulang tahunku, dan memberiku boneka anjing dan domba.     14 Juni 2008. Tidak ada lagi yang memberiku boneka.  Mungkin kamarku sudah penuh boneka, jadi boneka tidak diperlukan lagi.      14 Juni 2009. Tidak ada lagi laki-laki itu...kemana hilangnya?  Lagi-lagi aku hanya bisa bilang "entah"     14 Juni 2010. Aku diperkenalkan dengan orang asing, yang harus ku sebut dengan sebutan "Ayah" Baiklah.      14 Juni 2011. Ibuku seperti orang asing. Aku tidak begitu dekat  dengannya. Bahkan saat didekatnya, hanya ada rasa takut menjalariku.