Hmm... kenapa matahari itu begitu menyengat. Padahal
ini hari libur yang menyenangkan untuk tidur. Tapi tak apa, sinar itu membuatku
bersemangat untuk jogging menghilangkan lemak di perutku yang sudah tertimbun
berhari-hari. Aku segera beranjak dari apart setelah mengganti piyamaku dengan
kaos dan training. Baru beberapa langkah dari ambang pintu aku di kagetkan
dengan suaranya.
“(...) Tunggu!”
“He?
Aku?”
“Ya
siapa lagi, kau kan (...). kau mau joging sendirian?”
Aku
mengangguk. Dia itu tidak biasanya basa-basi begitu. kenapa pria dingin berubah
jadi cerewet sekali. Apa dia berniat menyuruhku lembur di hari libur?
“Kak
jangan ganggu hari liburku, please... ya?”
“Memang aku tampak seperti penganggu? Hey kau tunggu di sini dulu.”
Huff,
benarkan? Lagi-lagi di suruh berdiri di depan pintu. kenapa sih dia suka sekali
mengatur. Bilang saja kalau mau menyuruh, kenapa pakai tunggu-tungguan segala!
Tidak lama dia membuka pintunya, dan kostumnya berganti training dan kaos. Apa
dia mau ikut jogging denganku?
“Ayo
cepat!” dia berlari mendahuluiku. Wah, benar-benar tidak tahu balas budi, sudah
ku tunggu malah di tinggal.
“Jadi sudah berapa lama kau tinggal di sini?” tanyaku berusaha mencairkan
suasana.
“Sekitar 3 tahun.”
“Ooh
begitu,” Tapi apa kau benar-benar tidak ingat aku? Sekali saja kau singgung
tentang masa SMA, aku mungkin akan mencoba
memancingmu. Argh, kenapa susah sekali memancing situasi, kenapa juga
aku kembali berharap pada masa itu. memangnya aku sepenting itu untuk di ingat?
“Sore ini, apa kau mau menemaniku ke suatu tempat?”
“Ke mana?”
“Tempat penting denganku.”
“Oke.” Dan entah kenapa aku tidak bisa menolaknya. Seharusnya aku bertanya
sekali lagi, kenapa harus mengajakku. Apa dia tak memiliki teman lain?
Skip>>>
Aku
sedikit berlama-lama di kamar, memilih baju yang pantas untukku pergi bersama
Profesor Oh. Memang sedikit memalukan karena aku pun tak tahu mau di ajak
ke mana. Jadi tak apalah, untuk berjaga-jaga tentunya aku harus tetap rapi
bukan? jadi, kuambil dress biru selutut
dan membiarkan rambutku tergerai, aku ingin tampak sederhana.
Dia
mengetuk pintu kamarku, aku segera menemuinya. Dia tidak bicara banyak, dia
hanya mengatakan akan menunggu di bawah. Jadi kupercepat langkahku
menyusulnya. Aku segera masuk ke mobilnya. Dia segera melaju, dan sepanjang
perjalanan aku merasakan ada sesuatu yang janggal. Kenapa dia dingin sekali.
Ke mana sebenarnya dia pergi.
Aku
merasa mengantuk sekali, hari semakin gelap, tapi kami belum juga sampai. Aku
tidak berani bertanya. Bayangkan saja, bagaimana rasanya terintimidasi, biar
bagaimanapun aku memiliki rasa peka yang tinggi, pasti ada yang tidak beres.
Mobil
itu memasuki sebuah rumah besar, bahkan gerbangnya hampir mencapai 10 meter.
Aku sedikit menganga, bahkan rumahku saja tidak semegah itu. hampir 2 kali
lipat dari rumahku. Apa ini rumah keluarga Oh? Keluarga Oh yang terkenal itu?
ya, aku pernah mendengarnya sebelumnya. Mereka memiliki perusahaan besar
bernama OH Corp. Dan kalau tidak salah sekarang perusahaan itu di pegang oleh
putra sulung keluarga, atau kakak dari Oh Sehun.
Dia
hanya membukakan pintu untukku, tapi tidak mengatakan apa pun. Seperti memahami
situasi, aku hanya mengikutinya masuk. Saat semua pelayan memberinya salam, dia
tetap berjalan lurus. Kini tujuannya ada di lantai 2.
“Maukah kau membantuku?”
“Maksudmu?”
“Ku
mohon buatlah dia sadar.” Dia membuka pintu kamar, dan menyuruhku masuk, aku
masih tidak mengerti dengan perkataannya barusan. Siapa yang ada di dalam, dan
kenapa harus aku?
Aku
berjalan dengan sedikit canggung. Oh Sehun mengikutiku dari belakang. Kamar itu
luas, dan karena tempat yang luas itu aku melihat seorang pria paruh baya yang
tampak tak sadarkan diri dengan banyak sekali alat medis di tubuhnya.
“Dia
Ayahku. Setelah kecelakaan yang menimpa Ibuku dua tahun lalu, dia seperti ini.
Keadaannya sedang drop sekarang. Aku tidak memiliki keberanian menyapanya. Jadi
kumohon,”
Aku
baru mengerti sekarang, ternyata dia tidak baik-baik saja. itulah sebabnya dia diam sepanjang jalan, dia
pasti merasa rapuh sekarang ini. Entah kenapa kakiku melangkah sendiri,
tiba-tiba saja aku memeluknya dan berkata “Jangan cemas, aku akan membuatnya
baik-baik saja.” Sehun mungkin saja terkejut dengan keberanianku.
Dia
pria yang sering aku lihat di majalah, dia seorang presdir besar. Pantas saja,
selama ini aku tidak pernah melihatnya lagi, dan tentunya, setelah kecelakaan
itu, aku hanya sempat mendengarnya dari berita. Dan saat itu, aku tidak tahu,
bagaimana perasaan Oh Sehun setelah tragedi itu terjadi. Dia pasti sangat
tertekan.
“Apa
kau tahu Tuan, di sini, masih ada
putramu yang tersisa. Dia, begitu menghawatirkanmu. Apa kau tidak ingin
membuka matamu sekali saja? kau tidak ingin melihat putramu meneteskan air
mata untukmu?"
“Apa
kau tahu, kita sama-sama pernah kehilangan, ya, mungkin bukan sekarang, tapi
aku pasti akan mengalaminya. Tapi aku selalu bersiap, aku berusaha untuk
mengingat orang-orang yang masih menginginkanku. Aku tidak ingin berlarut, dan
pada akhirnya menyia-nyiakan kesempatanku untuk mereka yang masih hidup.”
Aku
yakin, dia pasti mendengarku, karena secara perlahan, air matanya menetes. Dia
pasti sadar, aku selalu optimis akan sesuatu. “Tuan Oh, aku sungguh kagum
dengan rasa cintamu yang begitu besar pada istrimu. Tapi Tuan, apa istrimu
tidak pernah mencintai kedua putramu? Apa dia akan bahagia melihatmu
mengabaikan mereka? Kapan kau akan memeluk mereka? Putramu juga kehilangan ibu
mereka, apa kau tega membiarkan mereka kehilangan Ayahnya juga?”
Aku
melihat Sehun yang mencoba menahan air matanya. Aku tahu, dia ingin sekali
melihat Ayahnya kembali seperti dulu, sejauh yang kutahu, mereka sangat dekat.
Aku meraih tangannya, dan menyuruhnya mengatakan sesuatu. Itu akan sangat
membantu Tuan Oh.
Skip
>>>
Dia
tak henti-hentinya tersenyum. Sepanjang perjalanan dia menoleh ke arahku hampir
tiga kali per menit. Aku tahu, rasanya pasti membahagiakan karena Tuan Oh yang
sudah kembali sadar. Aku tidak banyak membantu, yang sebenarnya berperan besar
adalah sebuah ketulusan, dan ketulusan itulah yang menciptakan keajaiban. Oh
ya, dan baru kali ini aku melihatnya tersenyum seperti itu, senyumnya begitu
lepas.
“Mau
kutraktir sesuatu malam ini?”
“Oh?
Boleh. Kebetulan aku ingin sekali makan ayam panggang. Kau bisa belikan?”
“Ayam panggang? Kalau begitu kita beli bahannya saja, seperti biasa, memasak di
balkon. Bagaimana?”
“Ide
bagus.” Aku senang, seperti tak ada jarak di antara kita, aku senang, kita
seperti teman yang sudah akrab lama sekali. Dan aku senang, aku bisa melihat
wajahnya sedekat ini. Aku tidak menginginkan lebih, tetaplah seperti ini,
kedekatan ini, ku mohon, perasaan apa pun yang berhubungan dengan cinta, jangan
berani merasuk ke hatiku.
Skip>>>
Aku
menikmati aroma daging yang terpanggang, tanpa sengaja tanganku menyentuh besi
pemanggang. “Uh!” Aku mengibaskannya karena melepuh. Oh Sehun yang baru saja
menyiapkan tempat langsung bergerak ke arahku. “Kau baik-baik saja? sini biar
kulihat.”
Dia
meniup jariku, lalu mengolesinya dengan kecap, biar tidak melepuh katanya. Oh
gawat, jantungku seperti berlari. Aku merasakannya lagi, bahkan jauh lebih
cepat dari sebelumnya. Bahkan mungkin jika tidak di kegelapan wajah merahku
akan sangat tampak. Aku segera menarik jariku dari tangannya.
“Terima kasih, tapi tidak separah itu kok. Jangan cemas.”
“Oh
syukurlah. Tunggu kau duduk saja, biar ku ambil dagingnya.” Dia beranjak untuk
mematangkan daging ayamnya.
“
Sadarlah (Name), dia itu dosenmu. Ingat!”
Ayam
pun datang, dia menghidangkannya bak chef profesional. Dengan irisan bawang dan
mayones, sungguh menggoda sekali. “Selamat makan!!!” ucapku girang.
Tiba-tiba
ponselnya berbunyi, Sehun segera mengangkatnya, kali ini dia tak mengatakan
permisi. Aku dengan tenang menghabiskan bagianku. Kenapa dia lama sekali?
Pikirku. Rasa penasaranku tak terbendung lag, aku pun berjalan menghampirinya.
Namun baru beberapa langkah di belakang, dia sudah berbalik.
“(Name) maaf ya. Aku harus pergi sekarang, aku harus menjemput seseorang.”
“Siapa?”
“Teman lamaku. Kau habiskan saja, aku mungkin pulang larut.”
“Oh
baiklah.” Aku melihat punggungnya yang menjauh, dia mengambil jaket lalu pergi
begitu saja. kenapa aku jadi kepo begini, seharusnya aku tidak boleh seperti
ini, toh dia bukan siapa-siapa. Apa pun yang dia lakukan bukanlah urusanku,
tapi wajah bahagianya sungguh mengganggu. Dan nama yang tertera dalam ponselnya
juga menganggukku. “ Jenny”
***
Komentar