PERKUTUT
Ayahku pergi berburu. Dia kembali saat senja memburu. Kupikir, Ayah akan kembali membawa lembu. Ternyata hanya burung dalam sangkar bambu. Namanya perkutut. Setiap hari kerjanya hanya membuat bising. Suara radio bahkan kalah nyaring olehnya. Ingin sekali-kali aku menguliti dagingnya yang tampak lezat. Tapi Ayah melarangku. Ayah bilang perkutut adalah burung berharga. Saat Ayah hampir tersesat di tengah hutan. Perkutut menunjukkan jalan pulang padanya. Baiklah, aku tidak akan menggorengnya hari ini. Kami sekeluarga punya hutang budi padanya.
Setiap pagi perkutut bernyanyi dengan merdu. Mengalahkan ayam jago tetangganya yang fals suaranya. Lalu suatu hari. Perkutut meringkuk dalam sangkarnya. Suasana rumah menjadi sunyi. Ada apa gerangan? Apa dia kehabisan suara karena sering digunakan. Aku, bertanya pada Bibi tetangga. Dia seorang biduan. Bagaimana caranya mengembalikan suara penyanyi?
Bibi tetangga memberiku resep, penyanyi tidak boleh minum air yang dingin. Lalu aku membawa segelas air panas untuk perkutut. Dia semakin meringkuk. Aku bertanya lagi, pada Bibi tetangga. Bibi tetangga mengatakan suara seseorang akan kembali saat dia berkumur. Lalu aku menyuruh perkutut berkumur. Paruhnya tidak mau terbuka juga. Aku memberinya segala jenis air. Air madu. Air susu. Kecuali air tuba.
Ayah belum juga kembali. Rumah menjadi sepi. Perkutut yang riang hati. Kini sudah tidak ada lagi. Aku berharap Ayah tidak kembali membawa lembu. Aku ingin Ayah membawa perkututku kembali. Tapi hari itu. Ayah kembali. Bukan membawa lembu. Bukan membawa perkutut. Tapi membawa penyanyi sebagai istri baru.
-End-
Komentar